Aku bertemu lagi dengannya, setelah hampir dua puluh tahun ia menghilang dari hidupku. Tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, akan pertemuan yang terjadi hari ini.
Sudah hampir lima tahun aku bekerja di kantorku yang sekarang, tapi baru hari ini aku tahu kalau Hendra adalah teman dari Pak Rudi, bosku yang baik. Dan tak sengaja aku bertemu dengan lelaki itu lagi, sebab ia datang ke kantor untuk menemui bosku.
Hendra, aku benci menyebut namanya. Tapi mungkin kebencian ini tak lebih besar dari rasa rindu dan cintaku padanya. Mungkin aku memang wanita paling bodoh di dunia, yang hanya dapat terus berharap pada sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Dia, lelaki yang membuatku tak ingin menikah dengan siapapun hingga saat ini. Membuatku menutup pintu hati ini serapat-rapatnya, hingga tak mampu lagi tersentuh oleh lelaki manapun.
Kalau saja dulu, aku tidak datang ke acara pernikahan teman sekolahku, mungkin takdir tak kan pernah mempertemukan ku dengan Hendra. Sejak hari itu, ku pikir hari-hariku akan jauh lebih indah. Itu benar, tapi sayangnya semua hanya sebentar. Hendra merubah hidupku menjadi begitu menyedihkan.
Bukan aku yang terlalu mudah jatuh cinta, tapi ia yang selalu bersikap manis seolah memberi rambu untuk hubungan yang lebih dari sekedar teman biasa. Dan di saat aku sudah menaruh harapan padanya, seenaknya saja ia menghilang dariku.
Hujan malam ini menambah sakit rasa hatiku, tanpa ku sadari air mataku kembali menetes lagi karenanya. Karena Hendra, karena aku sungguh-sungguh mencintainya. Hujan selalu mengingatkanku pada saat-saat di mana ia mulai menjauh dari kehidupanku di masa lalu.
Kini hari telah berganti, sisa hujan semalam tak ada bedanya dengan sisa tangisku yang masih tergambar di wajahku. Sejenak ku hirup udara pagi dan secangkir kopi di depanku, berharap hari ini perasaanku jauh lebih baik.
Tapi nyatanya tak begitu, di detik terakhir menjelang jam makan siang, lelaki itu muncul lagi di hadapanku. Kali ini aku benar-benar muak padanya.
"Masuk saja, Pak Rudi ada di dalam." ucapku tanpa sudi menatap wajahnya.
"Aku bukan mau ketemu Rudi, aku mau ketemu kamu."
Aku tersentak mendengar ucapannya, ku letakkan pekerjaanku dan menatapnya heran. "Ada apa?"
"Aku pingin ngobrol sama kamu, Sonia. Apa kita bisa makan siang bareng?"
"Ngga bisa!" aku ingin menghindar darinya, tapi ia justru menarik pergelangan tanganku dan memintaku ikut dengannya.
Kami duduk berhadapan di meja makan, di salah satu kafe yang tak jauh dari kantorku. Di sana ia menyampaikan kata maafnya padaku. Kata maaf yang sebenarnya sudah tak penting lagi untuk ku dengar.
Katanya, ia tak pernah berniat menyakiti perasaanku. Dan ia sama sekali tak bermaksud mempermainkan ku. Ingin rasanya ku katakan bahwa sesungguhnya rasa cintaku tak pernah mati untuknya, namun aku hanya dapat membisu menatap sebuah cincin melingkar di jari manisnya.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H