Syifa menari di bawah hujan pagi itu dengan gaun pengantinnya. Ia berteriak dan menangis, meluapkan segala isi hatinya pada hujan.
Aku dan suamiku hanya dapat memandangnya sedih dari balik tirai jendela kamar kami. Untuk sesaat tak ada yang dapat kami lakukan, selain membiarkannya melakukan semua itu. Kami sangat memahami kehancuran hatinya.
Kami tak mampu melawan takdir, masih lekat dalam ingatan kami satu bulan yang lalu ketika Abi datang ke rumah kami dan berpamitan untuk pulang. Siapa yang menduga bahwa malam itu adalah terakhir kalinya kami bertemu dengan lelaki itu.
Lelaki yang telah mengisi hari-hari bahagia putri semata wayang kami selama lima tahun terakhir. Kepergian Abi untuk selamanya dalam kecelakaan malam itu membuat Syifa begitu terpukul.
Sejak hari itu, Syifa tak karuan. Hari-harinya muram, terkadang ia terlihat dapat menerima kenyataan, tapi terkadang emosinya meledak tanpa diduga. Kami hanya dapat meredamnya sebisa kami tiap kali raungan tangisnya menggema.
***
Tiga bulan sudah akhirnya berlalu. Aku sungguh merasa senang karena usahaku untuk terus berada mendampinginya selama tiga bulan kemarin telah membuahkan hasil yang sesuai harapan kami.
Kami sangat bersyukur Syifa telah kembali stabil seperti dulu. Ia sudah jauh lebih tenang dan mulai beraktivitas dengan normal. Syifa sudah mau melukis lagi dan membuka kembali kegiatan di galeri seninya.
"Mam, tadi teman SMA ku main ke galeri. Rencananya besok mau balik lagi beli lukisan aku." cerita Syifa kepadaku pada suatu malam di meja makan.
"Oh ya? Siapa Fa?"
"Dito, dulu pernah sekelas. Pernah ke rumah juga kok bareng anak-anak waktu kerja kelompok."
"Oh gitu. Ya, Mama ngga ingat Fa."
"Iya Mam, dia ngga deket soalnya sama aku. Ngga sering main bareng."
Hari demi hari terus berlanjut, aku pun dapat merasakan bahwa Dito tidak hanya menganggap putriku sebagai teman biasa. Setiap kali lelaki itu bertamu ke rumah kami, aku dapat melihat sorot matanya yang dalam memandang kepada Syifa.
Hingga akhirnya suatu hari tebakan ku terbukti benar, Dito mengungkapkan perasaannya kepada Syifa. Dan lagi-lagi aku merasa senang karena putriku sudah mau membuka hatinya untuk lelaki lain.
Satu tahun berikutnya, kami kembali melihat Syifa mengenakan gaun pengantin. Meski itu adalah gaun yang berbeda. Kali ini, takdir merestui Syifa dan Dito menjadi satu.
Aku dan suamiku sangat bahagia karena tiga tahun setelah mereka menikah, mereka memberikan kami seorang cucu laki-laki yang begitu tampan. Sebagai orang tua, kami tak pernah berhenti bersyukur untuk kehidupan Syifa yang begitu baik. Syifa terlihat sangat bahagia di setiap harinya.
Dito adalah suami yang sangat bertanggung jawab pada keluarga, meski terkadang pertengkaran kecil terjadi dalam rumah tangganya. Namun keduanya selalu dapat memecahkan masalah mereka.
Tapi hari ini, pada hari ulang tahun cucuku yang ke-2 tahun, aku mendengar sesuatu yang sangat menyakitkan. Aku tak sengaja mendengar Dito berbicara dengan seseorang di telepon. Aku sungguh tidak percaya mendengar rahasia itu.
Ternyata Dito yang telah mencelakai Abi. Dia merancangnya seolah kecelakaan itu adalah kecelakaan tunggal. Sebab Dito telah menaruh hati pada putriku sejak mereka masih SMA.
Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan, haruskah aku mengatakan semuanya pada Syifa dan merusak kebahagiannya saat ini? Atau selamanya aku harus diam, memendam sendiri kenyataan yang begitu menyakitkan ini?
Aku tak sanggup jika harus merusak ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarga putriku. Aku akan mengambil keputusan untuk melupakan semua itu, dan berpura-pura tak pernah mendengar apapun.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H