Aku tak tahu bagaimana cara menggambarkan perasaanku padanya. Untuk ke sekian kalinya adikku Tiara pulang membawa titipan salam dari gadis itu.
Gadis manis berkerudung yang tinggal di depan gereja. Satu-satunya gereja Advent yang lokasinya paling strategis di kota ini. Jika harus berkata jujur, aku sangat senang tiap kali mendapat sebuah salam darinya. Mungkin, aku memendam perasaan yang sama sekian lama.
Pertemuan pertamaku dengannya, tak akan pernah ku lupakan seumur hidup. Kala itu usiaku masih 10 tahun, sementara ia.. gadis itu tampak lebih muda dariku. Sarah namanya, senyumnya selalu terpatri dalam ingatanku.
Saat ada waktu luang, Sarah selalu membantu ibunya menjaga warung kecil-kecilan yang berdiri di atas lahan bekas garasi rumahnya. Sementara, aku dan adikku selalu membeli jajanan dari warung mereka tiap kali kami pergi ke gereja.
Suatu waktu aku seorang diri membeli sesuatu di warungnya. Ku lihat ia malu-malu menatapku, maka aku mengajaknya berkenalan. Perkenalan kedua anak kecil tentu tak seperti orang dewasa. Dalam sekejap suasana mencair, ku lihat Sarah tersenyum lepas saat ku tanyakan siapa namanya. Ia tampak antusias menyambut teman baru.
Sejak hari itu, aku mengajak adikku dan beberapa teman gerejaku untuk berkenalan juga dengannya. Tapi, hati ini dapat merasakan sorot kedua mata Sarah yang berbeda. Caranya menatapku sungguh berbeda dengan caranya menatap kepada yang lain.
Namaku Handi, tahun ini usiaku genap 28 tahun. Diam-diam aku merindukannya. Belakangan ini aku cukup sulit menemukan keberadaan Sarah. Mungkin ia menghindariku. Tapi, untuk apa ia masih menitipkan salamnya lewat Tiara.
Aku merasa bersalah karena hari itu telah memaksanya untuk jujur mengakui perasaannya padaku. Aku tahu, aku begitu egois. Aku tidak punya nyali untuk mengatakan aku juga menyukainya. Bahkan sangat menyukainya.
Aku takut pada Tuhanku, jika jatuh cinta pada dirinya yang bukan umat Tuhanku. Tapi, bukankah cinta itu sebuah rasa yang suci dan datang dari Tuhan? Kali ini aku harus berhasil menemui dirinya.
"Sarah!"
Langkahnya terhenti mendengar seruanku, gadis itu menoleh dan memutar tubuhnya ke arahku. Ia terdiam di tempatnya menunggu langkahku yang kian mendekat. Dan kedua mata yang berkaca-kaca itu semakin terlihat jelas olehku.
"Aku kangen kamu, Sar! Kenapa ngga bales pesan aku dan malah titip salam lewat Tiara?"
Air mata itu tak tertahan lagi, membasahi sebelah pipinya. Membuatku tersentuh lantas ku hapus air matanya dengan jemariku. Ku lihat senyumnya terasa berat, ia paksakan memandang wajahku.
"Apa kita punya rasa yang sama, Di? Aku tersiksa sekian lama. Aku udah terlalu lama menyimpannya sendiri."
"Aku ngerti, Sar. Maafin aku. Aku yang pengecut, aku ngga pernah berani jujur sama kamu. Kita ngga mungkin bisa sama-sama."
Dalam tangisnya, ia mengangguk pasti. "Aku tau Di. Aku tau banget.. Aku tau kamu ngga akan mengkhianati Tuhan kamu hanya demi aku."
Mendengar kalimat itu, aku hanya dapat mengangguk dan kembali menghapus air matanya. Meski ini terasa begitu menyakitkan, paling tidak aku sudah menyampaikan perasaanku yang sebenarnya. Memberitahunya bahwa selama ini perasaannya padaku tidaklah bertepuk sebelah tangan.
Kami berpisah di depan gereja, setelah ku sampaikan berita kepindahanku bulan depan ke kota lain. Dan ku rasa, aku tak perlu menambah kepedihan hatinya dengan mengatakan bahwa bulan depan juga aku akan menikah.
Kami berjanji untuk melanjutkan hidup masing-masing dengan lebih baik dan menyimpan sebaik-baiknya perasaan itu di dasar hati kami yang terdalam, sampai waktu yang menentukan pantas atau tidaknya perasaan itu menghilang hingga tak bersisa.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H