Sabtu, 11 Mei 2024 Komunitas Kompasianer Jakarta alias Kopaja71 kembali melakukan perjalanan bersama. Namun, sayangnya pada kesempatan kali ini sang pendiri komunitas harus berhalangan hadir.
Perjalanan kami dimulai dari Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Aroma pagi yang kental menemani kami menikmati sarapan bersama di salah satu sisi Lapangan Banteng. Tak banyak kegiatan yang kami lakukan di sana selain berswafoto.
Seusai sarapan bersama, kami pun melanjutkan perjalanan kami dengan berjalan kaki santai ke Galeri Nasional untuk mengunjungi pameran seni rupa karya Butet Kartaredjasa.
Pameran seni rupa yang bertajuk Melik Nggendong Lali ini merupakan ajang seni yang memamerkan karya dari Butet Kartaredjasa yang kita kenal sebagai aktor dan penggiat seni pertunjukan. Dengan kurator Asmudjo J. Irianto, pameran seni rupa ini menyimpan arti mendalam akan spiritualitas dan realitas sosial yang diinterpretasikan lewat karya. Dan pameran ini gratis, terbuka untuk umum hingga 25 Mei 2024 mendatang. Syaratnya hanya perlu mendaftar di website resmi Galnas.
Masuk ke dalam area pameran, pengunjung disambut oleh patung Petruk yang berwajah emas. Semakin ke dalam area pameran, kita akan dibuat takjub dan tak berhenti berdecak kagum atas semua karya yang dipamerkan.
Butet Kartaredjasa juga memberi label nama untuk karya-karyanya dengan nama yang tak kalah unik dan menarik, seperti Wirid Cinta dan Wirid Nusantara. Nama untuk sebuah karya yang tentu membuat kami penasaran akan makna yang terkandung di dalamnya.
Tapi akhirnya rasa penasaran kami terjawab ketika kami bertemu dengan beliau. Lantas bersama-sama kami menyimak om Butet Kartaredjasa berkisah, menarik garis besar atas karya-karya yang dipamerkannya kali ini.
Jika yang selama ini kita ketahui bahwa wirid adalah bacaan-bacaan, berupa zikir atau doa yang dibaca setiap hari oleh kaum muslimin. Dan bacaan itu hilang atau terbang setelah kita lantunkan di bibir. Namun, wirid bagi Butet Kartaredjasa adalah perwujudan dari sebuah wirid yang dilakukannya dengan cara meninggalkan jejak lewat karya. Yang mana dalam karya tersebut beliau isi dengan menuliskan nama lengkapnya secara berulang.
Selain menerjemahkan karya wiridnya, beliau juga menjawab penasaran kami perihal satu karya akrilik di atas kanvasnya yang membentuk kata "ASU". Kata yang terkesan kasar ini justru diberi label nama Tanda Cinta. Kira-kira apa keterkaitannya?
Sang empunya karya pun menjawab, bahwasanya kata asu dalam karya ini merupakan wujud relasi yang dekat atau kedekatan dengan orang yang kita kasihi dan sayangi. Sebab dalam konteks candaan, kata asu tidak mungkin kita ucapkan kepada orang yang baru kita kenal.
Dalam pertemuan singkat ini, Butet Kartaredjasa juga sempat menyinggung tentang kekecewaan dan amarah dalam realitas sosial. Namun, amarah yang dimaksud beliau adalah amarah yang diubahnya menjadi berkah. Yaitu berkah melalui sebuah karya yang bermanfaat baginya dan banyak orang.
Setelah berfoto bersama, perjalanan Kopaja71 kali ini ditutup dengan perbincangan singkat kami di kantin Galeri Nasional.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H