Aku yang berdiri tepat di dekat pintu, tentu dapat melihat masinis itu dengan sangat jelas. Meski ia sedang berbincang dengan masinis lain di depan sana, namun sorot kedua matanya sesekali memandang kepadaku. Bahkan senyuman dilemparkannya beberapa kali padaku.
Kedua kakiku mulai gemetar, aku tak menyukai situasi seperti ini. Masinis itu telah membuatku tersipu malu sebelum akhirnya ia beranjak pergi dari pandanganku.
Beberapa menit berlalu, aku telah tiba di stasiun tujuanku. Aku melangkah turun dari kereta dan berjalan menuju pintu keluar stasiun. Dan betapa terkejutnya aku ketika seseorang menarik lenganku dari belakang.
"Hai, boleh ngomong sebentar?"
Angin membelai rambut panjangku, aku tertegun memandang wajahnya. Membuat lelaki itu tersadar dan melepaskan tangannya dari lenganku. Aku tak ingin tampak murahan, tapi juga tak ingin dibilang sombong. Maka aku menghargai dirinya dengan menepi dari lalu lalang orang dan berbincang sejenak dengannya.
Aku Sally, dan ini kisah pertemuanku dengannya. Namanya Diro, masinis berhelm biru yang entah kapan ia melepas helmnya dan malah mengikutiku dari belakang. Masinis itulah yang kini mendampingi perjalanan hidupku. Meski ia jauh lebih muda dariku, tapi ia begitu setia di sisiku, menjadi teman hidupku. Diro adalah stasiun terakhir dari beberapa hati yang pernah ku singgahi.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H