Dalam hal aktulisasi diri, orang tua ini akan menemukan kepuasan versi dirinya sendiri. Sederhananya, mereka bangga karena mampu membekali anak (terutama anak usia sekolah dasar) dengan gadget.
Saya pun sudah sangat jarang menemukan foto anak zaman sekarang yang berpose sambil memegang buku. Yang ada hanya pose anak-anak yang menggenggam ponsel di tangannya.
Kalau hanya sekedar pegang buku atau peluk buku, semua anak tentu bisa. Tapi, apakah yakin bahwa buku tersebut benar-benar dibacanya? Masihkah mereka berminat untuk membaca isi setiap halamannya?
Lalu, sudah pastikah anak-anak kita akan membaca buku digital lewat gadgetnya? Semoga!
Sebab pada praktiknya, lebih banyak anak-anak yang memanfaatkan gadgetnya bermenit-menit untuk bermain, berselancar di sosmed dan menonton video pendek yang sifatnya hiburan.
Tapi, bukankah gadget juga berguna untuk mengerjakan/ mendukung tugas sekolah? Benar, tapi itu lain cerita. Karena memang sudah kewajibannya sebagai seorang pelajar yang harus mengikuti instruksi/ cara belajar yang diterapkan gurunya.
Sejak dahulu istilah kutu buku identik dan melekat pada anak-anak yang berpenampilan culun, pendiam, tak mudah bergaul serta biasanya ia mengenakan kaca mata tebal.
Apakah di zaman modern ini masih ada kutu buku? Pasti ada. Tapi mungkin, penampilannya tidak lagi seperti yang disebutkan di atas tadi.
Sementara tak jarang pula, kalangan remaja hingga dewasa justru berniat menipu literasi. Ke sana kemari menenteng buku, agar terkesan hobi membaca dan terlihat lebih intelek.
Namun kita harus percaya, bahwa generasi yang jujur literasi masih selalu ada di balik kehebatan bangsa ini.
Tak ada salahnya dan tak ketinggalan zaman pula untuk memperkenalkan buku fisik kepada anak-anak kita. Selain buku-buku pelajaran sekolah. Mari tanamkan sedini mungkin rasa cinta terhadap buku dan giat berliterasi pada jiwa anak-anak kita. Agar kelak mereka terbiasa berliterasi.