Karena masyarakat pengguna KRL harus masuk dan keluar stasiun melalui pintu utama Sky Bridge yang berada di dalam terminal.
Tapi apa imbasnya? Seperti yang tampak pada gambar di bawah ini, bahwa setiap jam pulang kerja, kendaraan pribadi terutama kendaraan roda dua semua bertumpuk di pintu perlintasan kereta.
Hal ini disebabkan kebanyakan masyarakat enggan menggunakan skybridge, meskipun tujuan mereka adalah pintu selatan yang notabene searah dengan tempat tinggal mereka.
Bagaimana tidak enggan? Bayangkan saja ketika sudah lelah berdiri sepanjang perjalanan di dalam KRL, masyarakat masih harus berjalan kaki menyusuri skybridge sepanjang 245 meter untuk dapat mencapai keberadaan angkot, ojek dan area penitipan motor.
Dan mereka yang biasa menitipkan motornya di penitipan pintu selatan, memilih menitipkan motornya di penitipan pintu utara stasiun. Demi menghindari berjalan kaki di atas skybridge.
Tentu saja para pemilik motor ini harus menyeberang lebih dulu melalui pintu perlintasan kereta, yang nantinya akan membawa mereka menuju arah selatan stasiun yang juga merupakan arah tempat tinggal mereka. Maka hal inilah yang menyebabkan adanya penumpukan kendaraan di pintu perlintasan kereta.
Secara logika, lebih bahaya mana kendaraan menumpuk di sepanjang ruas jalan utama, ataukah kendaraan menumpuk di pintu perlintasan kereta?
Meski ada petugas yang mengatur, tapi setiap kali menyeberang di atas pintu perlintasan ini, saya selalu saja deg-degan. Karena seolah semua pengendara tak ada yang mau mengalah, kerap saling serobot karena takut keburu kereta lewat.