Mungkin cukup telat untuk membahas hal yang sempat viral pada pertengahan tahun lalu, yang menyebutkan bahwa BI Checking menjadi salah satu persyaratan untuk melamar pekerjaan.Â
Namun baru-baru ini, saya dipertemukan dengan dua orang yang mengalami sendiri imbas dari aturan tersebut, sehingga rasanya cukup menarik untuk dibagikan kisahnya.
Telah kita ketahui bahwa BI Checking sendiri merupakan informasi Debitur Individual (IDI) Historis yang mencatat lancar atau macetnya pembayaran kredit (kolektibilitas).
Dalam wawancara dengan media kala itu (24/8/2023) Kepala Biro Humas Kemenaker Chairul Fadly Harahap mengatakan bahwa dalam aturan pemerintah tidak terdapat kebijakan pengecekan BI Checking pada proses rekrutmen pekerja, apalagi menjadi syarat yang wajib bagi pelamar kerja.
Maka dapat disimpulkan bahwa peraturan ini merupakan kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing perusahaan. Dan beberapa perusahaan yang menerapkan BI Checking dalam proses perekrutan karyawan di antaranya ialah profesi di bidang perbankan dan keuangan, asuransi, financial technology, perusahaan teknologi, retail dan e-commerce, telekomunikasi dan layanan publik hingga bidang pendidikan.
Dari sisi para pencari kerja, tentu saja hal tersebut telah menjadi sebuah batu sandungan. Mengingat, pada masa kini sudah banyak masyarakat yang terjerat kredit/ hutang sehingga skor BI Checking-nya tak lagi mulus.
Lalu hal apa yang mendasari perusahaan tersebut memberlakukan kebijakan yang demikian? Bukankah logikanya seseorang melamar pekerjaan untuk dapat membayar kredit dan hutangnya setelah menerima gaji? Mari simak bersama sedikit cerita berikut ini.
Beberapa hari lalu tak sengaja saya berpapasan dengan tetangga di rumah yang lama. Kami pun sama-sama menepi untuk sekadar berbasa-basi. Sebut saja namanya Dodo.Â
Dalam perbincangan saya sekadar bertanya, "Mas Dodo masih di Astra?" seingat saya beliau memang bekerja di Astra Financial. Beliau pun menjawab bahwasanya sekarang sudah tidak bekerja di Astra lagi, melainkan bekerja di badan usaha koperasi simpan pinjam.
Wajar saja kalau saya cukup terkejut, saya pun terpaksa kepo dan lanjut bertanya, "Lho, kenapa ngga nyoba di perusahaan finance yang lain, Mas?" Beliau pun menceritakan riwayatnya bisa sampai bekerja di koperasi.