Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli

7 Maret 2024   17:14 Diperbarui: 7 Maret 2024   17:25 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marah Rusli | kompas.com 

Marah Roesli atau sering kali dieja Marah Rusli atau Mh. Rusli lahir pada 7 Agustus 1889 dan wafat pada 17 Januari 1968, adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Beliau terkenal karena karyanya Sitti Nurbaya (roman) yang diterbitkan pada tahun 1922. (wikipedia)

Pada bagian sampul novel Memang Jodoh, tertulis bahwa novel ini adalah novel terakhir dari Marah Rusli. Novel yang sudah saya baca ini merupakan cetakan pertama, tertera bulan Mei 2013 dan diterbitkan oleh Penerbit Qanita, bagian dari grup PT. Mizan Pustaka.

Novel yang terdiri dari 536 halaman ini, diberi kategori Fiksi Indonesia, meski sebenarnya novel ini merupakan kisah semiautobiografi Marah Rusli yang dalam perannya disamarkan dengan nama Marah Hamli.

Memang Jodoh telah menjadi sebuah warisan berharga bagi dunia sastra Indonesia. Pada bagian sampul depan-belakang dan halaman awal buku, kita dapat menemukan pujian untuk novel ini yang ditulis oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma dan Sapardi Djoko Damono, serta penulis Tasaro GK.

Kalimat pembuka dalam novel Memang Jodoh | dokpri.
Kalimat pembuka dalam novel Memang Jodoh | dokpri.

Rully Roesli yang merupakan cucu dari Marah Rusli, ikut menyumbangkan tulisannya dalam 7 (tujuh) halaman pembuka novel ini. Beliau mengisahkan kenangannya bersama sang Atok pada masanya Memang Jodoh sedang ditulis.

Novel yang sebenarnya telah rampung ditulis pada awal tahun 1960-an ini, ditulis Marah Rusli sebagai hadiah yang sangat istimewa untuk sang istri, Raden Ratna Kancana dalam momen ulang tahun ke-50 pernikahan mereka pada 2 November 1961.

Sisi menarik yang paling menonjol dalam novel ini ialah, bahwa sebenarnya Marah Hamli tidak pernah berniat untuk melanggar adat tanah kelahirannya. Jalan hiduplah yang pada akhirnya membuat ia memutuskan untuk melanggar adat.

Adat Minang yang mengikat erat, telah menjerat langkahnya dalam mencapai cita-cita. Sehingga Hamli terpaksa melanggar adat yang berlaku, ia pun pergi merantau demi menimba ilmu. Dengan beasiswa yang didapatnya dari pemerintah Belanda.

Marah Rusli | kompas.com 
Marah Rusli | kompas.com 

Isi novel ini dibagi dalam 17 (tujuh belas) bab. Dimulai dari kisah perjalanan Hamli ketika menempuh pendidikan di Sekolah Raja (Kweekschool) yang ada di Bukittinggi. Dalam bab ini, juga dipaparkan kisah hangat persahabatan Hamli dengan kawan-kawannya semasa di sekolah.

Sementara bab selanjutnya diisi dengan kisah Hamli yang selalu didampingi oleh sang nenek dalam menjalani kesehariannya. Hingga pembaca pun dapat merasakan hubungan yang sangat erat antara seorang nenek dan cucunya.

Diceritakan pula perjalanan hidup Hamli setelah pindah ke Kota Bogor. Di kota inilah, Hamli menemukan cinta sejatinya, yaitu Radin Asmawati atau kerap disapa Din Wati. Kisah cinta mereka pun terasa sangat menyentuh. Di mana pihak keluarga Hamli yang berasal dari Padang, menentang hubungan Hamli dengan Din Wati yang berasal dari tanah Sunda. Hingga Hamli rela dibuang oleh adat dan orang tuanya demi cintanya pada Din Wati.

Namun setelah melalui segala rintangannya, Marah Hamli dan Din Wati akhirnya dapat menikah. Hal itu dapat diraihnya tak lepas dari peran besar sang nenek, Khatijah sebagai penyambung lidah antara Hamli dan orang tuanya. Meski telah menikah, tak berarti kehidupan Hamli dan istrinya dapat selalu merasakan bahagia, lika-liku kehidupan yang getir sesekali singgah dalam perjalanan rumah tangga mereka.

Bahkan ketika Hamli telah memiliki seorang anak, keluarganya sempat memaksa Hamli untuk menikah lagi ketika pulang ke Padang. Namun lagi-lagi sang nenek menjadi penyelamat, beliau menentang perjodohan itu. Nenek Khatijah hadir layaknya dewi cinta yang mengiringi kesetiaan Hamli terhadap Din Wati.

Menceritakan pula perjalanan hidup Hamli serta keluarga kecilnya saat tinggal di Sumbawa Besar. Sebelumnya Hamli berhasil lulus dalam ujian akhir di sekolah pertanian Bogor, maka Hamli diangkat menjadi ahli negara untuk ditempatkan di Sumbawa Besar.

Novel ini juga menceritakan bahwa Marah Hamli dan keluarganya tidak hanya pernah tinggal dan menetap di Sumbawa Besar, melainkan juga di kota Blitar, Jakarta dan Semarang. Bahkan kala masih di Blitar, mereka sempat merasakan dampak letusan Gunung Kelud.

Pada bab penghujung novel diceritakan bagaimana akhirnya Marah Hamli harus pensiun dari pekerjaannya karena menderita sakit. Dan sejak saat itu Hamli beserta keluarganya tinggal di Salabintana Sukabumi.

Sebuah novel yang dapat memperluas wawasan sejarah, budaya dan pengetahuan kita ini, saya pinjam sekitar empat tahun lalu dari seorang sepupu. Setelah selesai membaca, sebelum dikembalikan saya sempat mengambil foto beberapa bagian menarik dari novel ini. Jika para pembaca yang budiman ingin membaca keseluruhan isi novel ini, sekiranya dapat mencari dan membelinya di bazar buku-buku lawas atau di toko-toko online dengan harga sekitar Rp 60.000,- hingga Rp 90.000,-

Semoga bermanfaat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun