"Aku serius, Des.. Ayolah! Boleh ya?"
"Kenapa sih kamu? Di rumah ada setan? Terus kamu takut, gitu?"
"Bukannya gitu. Takut aja kalau kamu berpaling dari aku."
"Hah? Ngga salah denger aku? Selama ini aku setia lho, Sher. Pasti gara-gara kamu kebanyakan lihat sosmed makanya jadi parno gitu."
Sheril menghela nafas, "Ayolah Des! Boleh ya? Dulu Pak Dwi kerja bawa istri. Ngga ada yang ngelarang."
"Hahaha. Ya iyalah, Pak Dwi kan bos kamu. Dia mau bawa istri kek, bawa anak kek, siapa yang berani ngelarang?!"
Sheril cemberut, dalam hatinya menggerutu. "Susah juga ternyata punya laki ganteng. Yang tampang biasa-biasa aja bisa selingkuh, gimana laki gue.."
Dan akibat perbincangan tadi, Desta tak dapat memejamkan kedua matanya dengan mudah. Semalaman ini ia terus memikirkan semua ucapan Sheril. Sekaligus mencoba memahami apa yang sedang dirasakan oleh istrinya.
Keesokan paginya wajah Sheril masih tampak kusut. Redup tak ceria seperti biasanya. Tapi akhirnya suasana hati Sheril membaik, ketika Desta mengatakan kalau dirinya mengizinkan Sheril untuk ikut bersamanya ke kantor. Desta memang bukan bos, tapi ia karyawan terbaik yang mungkin dapat dipromosikan naik jabatan sewaktu-waktu.
Desta mengalah, sekali lagi terus berusaha memahami kekhawatiran Sheril. Ia ikuti saja keinginan Sheril, memang mau sampai kapan Sheril akan seperti ini? Betah menunggunya seharian di dalam mobil.
Tiga bulan telah berlalu, hingga kini Sheril masih saja mengikuti ke mana suaminya melangkah. Termasuk ke kantor. Wanita itu belum bosan menunggu seharian di mobil, setiap hari.