Sepanjang jalan menuju rumahnya, Dania terus memikirkan ucapan Alan tadi. Ia takut, bagaimana kalau nanti Amanda mau menerima cinta Alan. Ia tak ingin hal itu terjadi. Ia tak mau kehilangan Alan, sungguh ia tak sanggup membayangkannya. Tapi ia juga tak tahu, apa yang harus dilakukannya untuk mencegah semua itu terjadi.
Hampir satu minggu berlalu, Sabtu siang hari itu hujan turun cukup deras. Jam kerja hari ini telah usai, hanya saja Dania belum beranjak dari ruang kerjanya. Wanita itu sedang memandangi hujan dari balik jendela. Namun deringan ponselnya, sukses membuyarkan segala lamunannya. Ternyata Alan yang memanggil.
"Di mana, Dan?"
"Masih di kantor, nunggu hujan reda."
"Lo ngga ada acara kan? Gue jemput ya!"
"Jemput? Hmm... Ya udah, gue tunggu."
Setengah jam kemudian, keduanya pun telah duduk bersama. Hujan deras juga telah berganti dengan gerimis yang sendu. Kemacetan lalu lintas pun tak terhindarkan. Alan dan Dania saling terdiam, hanya terdengar lagu Cinta Pertama dan Terakhir milik Sherina yang diputar dari radio tape mobil.
"Apa sebaiknya gue buru-buru tembak........"
"Stop! Sebelum lo tembak Amanda, apa... Apa lo mau pacaran sama gue? Sehari... aja. Cuma sehari, Lan."
Lelaki itu membulatkan kedua matanya, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Berkali-kali ia memastikan bahwa dirinya tidak salah mendengar. Karena Dania terlihat tidak main-main, maka Alan pun bersedia menjadi kekasih Dania untuk satu hari saja.
Keesokan harinya, mulai Minggu pagi ini Alan dan Dania akan menghabiskan waktu bersama sebagai sepasang kekasih. Mereka pun bergandengan tangan, jalan-jalan ke mall, nonton film di bioskop, makan bersama, tertawa bersama, bahkan sempat bertengkar karena sebenarnya kedua orang itu sama-sama punya sifat keras kepala.