Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pertemuan di Meja Makan

25 Februari 2024   08:18 Diperbarui: 28 Februari 2024   14:07 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : https://www.putushima.com/meja-makan-bundar-jati-besar/

Di antara keramaian orang di lantai rumah sakit itu, terdapat seorang wanita bertubuh mungil dengan rambut panjang terurai. 

Tasya namanya, sudah hampir dua puluh menit ia menunggu nama ibunya dipanggil oleh petugas apotek. Beruntung bosnya di kantor sangat pengertian, sehingga Tasya tak perlu terburu-buru waktu untuk kembali ke kantor.

Usai juga penantian Tasya, akhirnya tiga macam obat untuk sang ibunda telah berada di tangannya. Ia pun melangkah menuju lobby rumah sakit. Berniat untuk langsung pulang saja.

Terdapat setidaknya lima buah anak tangga di depan sana untuk menuju lobby. Tak jauh di depan Tasya, terlihat seorang wanita yang diperkirakan usianya telah menginjak angka enam puluhan. 

Beliau tampak cukup kesulitan menuruni anak tangga itu, sehingga Tasya bergegas membantu, membimbing beliau untuk perlahan menapakinya.

"Bu, ayo saya bantu." ucap Tasya ramah, ia sudah berdiri di samping wanita itu dan meraih lengannya.

Wanita dengan rambut kian memutih itu mendongak dan tersenyum memandang teduh wajah Tasya. "Makasih ya..."

Keduanya pun telah sampai di lobby. Langkah mereka tertuju pada salah satu kursi panjang yang terdapat di sana.

Baca juga: Barisan Rindu

"Makasih ya nak."

"Iya Bu, sama-sama." Tasya terdiam sejenak, ia tak habis pikir mengapa ia dipertemukan dengan wanita ini.

Wanita yang pernah dilihatnya dalam sebuah foto. Tasya tahu wanita di hadapannya ini ialah ibu dari seorang lelaki yang pernah dicintainya di masa lalu. Tadi beliau mengatakan akan menunggu anak perempuannya. Haruskah Tasya menawarkan diri untuk menemani beliau sebentar?

"Saya... temani ya Bu, sampai anak Ibu dateng."

"Iya." angguknya seraya tersenyum lagi. "Oh ya, namamu siapa?"

"Saya... Tasya."

"Saya Linda" seraya menyodorkan tangannya kepada Tasya untuk dapat berjabatan.

Sepuluh menit kemudian, hadir seorang wanita lagi di tengah mereka. Dan lagi-lagi dalam hati Tasya berkecamuk. Wanita yang ini pun pernah dilihatnya juga dalam sebuah foto, yang pernah ditunjukkan lelaki itu dulu. Yang diakui sebagai adik perempuannya.

Bu Linda mengenalkan Tasya kepada Luna, anaknya. Beliau juga bercerita perihal kejadian tadi, mengapa Tasya sampai harus membantu dirinya untuk menuruni anak tangga. Tanpa banyak berbincang lagi, mereka berpisah. Namun tak lupa, Bu Linda mengajak Tasya bertukar nomor ponsel.

Satu bulan berlalu sejak hari itu. Suatu hari di penghujung Jumat sore, ponsel Tasya berdering. Lantas ia segera menjawab panggilan itu.

"Sore Tasya, besok ada acara ngga ya? Makan malam di rumah Ibu, bisa?"

"Makan di rumah Ibu? Besok?"

"Iya nak, bisa? Atau sudah ada acara ya? Sebagai rasa terima kasih Ibu waktu itu. Ibu pingin undang Tasya ke rumah."

"Hmm.. Iya Bu, bisa kok. Besok saya ke tempat Ibu. Nanti tolong di sms saja ya Bu alamatnya."

Tasya menghela nafas. Haruskah ia berharap dapat bertemu kembali dengan lelaki itu? Lelaki yang baru sebentar dikenalnya namun sukses memberinya luka berkepanjangan.

Sabtu malam kini telah tiba. Setelah mengatur nafas dan meredam rasa gugupnya, akhirnya Tasya menginjakkan kakinya di rumah itu. 

Tentu saja di sana ada Bu Linda, suaminya dan juga Luna. Tanpa banyak basa-basi lagi, mereka telah duduk bersama di meja makan bundar itu.

Masih ada dua kursi kosong di sana. Namun akhirnya kedua kursi itu terisi, oleh lelaki itu yang ternyata datang juga, bersama wanita yang kini telah menjadi pendampingnya.

Betapa hancurnya Tasya. Ia hanya dapat menggigit bibirnya sendiri, menahan air mata kebodohan. "Ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk menangis!" batinnya mengaduh. 

Sementara lelaki itu buru-buru mengenakan topengnya. Mati-matian menutupi keterkejutannya mendapati Tasya berada di sana. Sekaligus bersandiwara seolah saat inilah pertama kalinya mereka berjumpa.

"Sayangnya anak laki-laki kita cuma satu ya Pah. Kalau ada satu lagi, pasti kita jodohin sama Tasya." ucap Bu Linda kepada suaminya.

"Hmm, betul itu." angguk sang suami sambil mengunyah makanannya, tanda menyetujui ucapan itu.

Sungguh kalimat tak terduga yang membuat Tasya tercengang dan spontan menatap kepada Rudi. Dan di saat itu, sekejap pandangan mereka beradu.

Seusai makan bersama, Bu Linda dan suaminya mengajak Tasya berbincang di ruang tamu. Sampai pada waktunya Tasya untuk pamit. Dan entah mengapa Bu Linda lantas memanggil Rudi.

"Tolong antar Tasya pulang ya! Sudah kemaleman, kasihan kalau naik taksi."

Rudi dan Tasya, keduanya sama-sama terkejut. Tasya berusaha menolak, tapi akhirnya justru Rudi yang terlihat sangat bersedia mengantar Tasya pulang.

Dalam perjalanan, keduanya sempat saling terdiam, hingga Rudi memberanikan diri membuka mulut lebih dulu. Namun Tasya hanya menanggapi seperlunya saja setiap ucapan lelaki itu. 

Bagi Tasya, situasi ini sungguh menyesakkan. Dimana dulu ia pernah berkhayal untuk dapat menyusuri jalanan kota di malam hari yang tampak mempesona, bersama lelaki itu. Lelaki yang kini duduk di sampingnya, namun tak kan pernah sanggup diraihnya.

"Maafin aku Sya." ucap Rudi ketika mereka telah sampai di depan pagar rumah Tasya.

"Maaf? Memang kamu salah apa?"

"Udah menjauh dari kamu. Tapi aku sama sekali ngga bermaksud......."

"Cukup! Ngga perlu dilanjutin. Makasih udah anter saya."

Tasya beranjak turun dari kendaraan yang mengantarnya pulang. Wanita itu menangis dalam langkahnya menuju ke dalam rumah. Terlalu menyakitkan jika mengingat Rudi yang pernah meninggalkannya begitu saja bagai habis manis sepah dibuang.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun