Sambil mengerjapkan mata, Mira memengangi sebelah kepalanya. Belum sempat tengok kanan kiri, teman-teman sekelasnya datang, menyeret pintu kelas yang berada di hadapannya. Dan tentu saja membuat Mira terkejut heran. Begitu pun Alia yang tak kalah heran mendapati sahabatnya itu terduduk di lantai kelas.
"Mira! Ngapain disitu? Ayo bangun!" seru Alia seraya menghampiri dan lantas membantu Mira untuk bangkit.
"Alia..?"
"Lo jatuh ya, Mir? Eh, lo ngapain pakai baju bebas? "
"Hah? Gue.... gue......."
Bel berbunyi nyaring. Tanda jam pelajaran pertama hari ini sudah harus dimulai. Kalimat Mira menggantung begitu saja. Gadis itu menelan ludah, menuruti saja kemana Alia membawa langkahnya. Kini keduanya telah duduk berdampingan, mereka teman sebangku di kelasnya.
"Lo juga ngga bawa tas, Mir?"
Mira hanya menggeleng dengan tatapan kosong.
"Hah, lo kenapa sih?" Alia pun menggeleng heran. "Ini, pakai saja! Kebetulan gue bawa buku kosong. Ini pulpennya." ucap Alia sambil menyodorkannya kepada Mira di atas meja yang cukup untuk dua orang murid itu.
Mira berusaha menguasai situasi, ikut bersiap memulai pelajaran meski sejuta pertanyaan terlontar dalam benaknya.
Semua murid berdiri, bersiap memberi salam kepada Bu Ratih yang melangkah kian mendekat pada meja guru di depan sana. Setelah salam pagi kompak diucapkan, semua murid pun kembali duduk. Sedangkan kedua mata guru matematika itu tertuju kepada Mira.
"Mir, ke mana seragam mu?"
"Hmm.. Masih.... masih belum kering, Bu."
"Oh, ya sudah." diiringi senyum Bu Ratih tak memperpanjang kalimatnya. Beliau lantas memberi komando untuk memulai pelajaran.
Lima belas menit berjalan, seorang remaja lelaki tampan mengetuk pintu kelas. Membuat semua mata tertuju padanya. Sambil senyam-senyum, Aris membungkuk permisi melangkah menghampiri Bu Ratih.
"Maaf telat, Bu." sembari cium tangan pada bu guru.
"Kenapa telat?"
"Ban motor saya bocor, Bu."
"Hmm, sudah sana duduk!" titah Bu Ratih yang diangguki saja oleh Aris.
Lelaki itu pun melangkah menuju mejanya sendiri. Dan kedua pasang mata itu beradu, menyiratkan arti yang mendalam. Debar yang tak karuan, merasuk ke dalam hati Mira kala sang kekasih melemparkan senyumnya. Mira hanya dapat tersipu malu di tempatnya membalas senyuman Aris.
Hari demi hari, minggu demi minggu terasa begitu manis. Sepulang sekolah, Mira dan Aris sering jalan bersama. Di atas vespa biru itu, cinta kian bertumbuh. Setia mengantar mereka menyusuri romantisnya jalanan kota Jakarta tahun 1995.
Meski dimabuk asmara, keduanya tetap tahu batasan. Tak ingin masa remaja yang indah ini berubah menjadi malapetaka.
Di bawah teduhnya langit sore, Aris meminta pada Mira untuk mendoakan dirinya dalam kompetisi cerdas cermat antar SMA yang akan dilaksanakan esok hari di sekolah lain.
"Doain ya Mir, semoga kompetisi besok lancar."
"Iya Ris, aku pasti doain kamu. Berarti besok kita ngga ketemu dong?"
"Siapa bilang? Dari sana, aku balik kok ke sekolah. Jemput kamu."
"Beneran ya! Aku tunggu kamu di gerbang sekolah."
Aris menyodorkan jari kelingkingnya, sebagai tanda dirinya berjanji. Mira pun tersenyum, ikut menyodorkan jari kelingkingnya. Kini mereka sudah kait jari, yakin bahwa janji tak mungkin dilanggar.
Namun keesokan harinya, tak disangka takdir berkata lain. Mira sudah menunggu Aris hampir seharian, tapi kekasihnya itu tak kunjung hadir juga. Hingga Alia yang telah menyalin seragamnya dengan pakaian rumah, berlari ke arah Mira.
"Alia, ngapain lari-lari begini?"
Dengan nafas tersengal, Alia berusaha berbicara. "Udah Mir.. Jangan tunggu Aris! Dia ngga bakal dateng. Aris..... Aris....."
"Aris kenapa, Al ?"
"Aris kecelakaan Mir.. Aris udah ngga ada."
Mira terdiam sekian detik hingga akhirnya raungan tangis itu pecah di antara deru suara lalu lalang kendaraan di depan sekolah mereka. Dan raungan tangis itu sukses membuat Mira membuka kedua matanya.
Sudah tiga bulan ini Mira yang berusia tiga puluh lima tahun, mengalami koma. Setelah ia terjatuh dari lantai dua rumahnya saat bertengkar dengan suaminya.
Mengapa yang dialaminya saat koma kemarin terasa begitu nyata? Mira merasa dadanya sesak. Kenyataannya Aris masih ada. Masih berada di hadapannya, untuk mengucap seribu kata maaf atas pertengkaran mereka di rumah waktu itu. Tiga bulan yang lalu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H