Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Akhir Hayat Manusia Sombong

5 Februari 2024   20:45 Diperbarui: 5 Februari 2024   21:03 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tersebutlah seorang bapak yang berprofesi sebagai pengajar di salah satu perguruan tinggi swasta. Beliau selalu bersikap ramah terhadap siapapun yang ditemuinya. Hingga semua orang memandangnya sebagai sosok panutan yang disegani.

Bagio namanya, tak hanya dihormati oleh para mahasiswa di kampus tempatnya mengajar. Di lingkungan tempat tinggal dan lingkup pergaulannya, beliau selalu diutamakan. Bagaimana tidak? Berpendidikan tinggi, pintar bersosialiasi dan tampak taat beribadah.

Di kalangan civitas akademika, beliau begitu dikenal. Tak sampai di situ, namanya pun populer pada beberapa organisasi di luar kampus. Berkat perjuangan seorang kakak perempuan yang dulu menyekolahkan dirinya, Bagio dapat sampai di titik ini. Kehidupan mapan yang serba kecukupan.

Pasti tak ada yang percaya bagaimana sesungguhnya watak seorang Bagio, saat beliau sudah menanggalkan topengnya.

Malam itu hujan turun, di dalam istana yang elok itu pecahlah keributan di antaranya seorang ayah dan anak gadisnya.

"Berapa kali Bapak sudah bilang sama kamu, Airin? Bapak ngga suka kamu pacaran sama anak begajulan itu."

Baca juga: Perawan Kesiangan

"Begajulan apa sih Pak? Rio kelihatannya saja tukang nongkrong. Dia pintar dan punya prestasi kok."

Spontan Bagio langsung pasang tangan, siap menempeleng Airin. Namun secepat kilat sang istri meraih tangan itu, mencegah apa yang harus dicegahnya.

"Masuk Airin! titah sang ibu membuat Airin berlari ke kamarnya. "Mau main tangan sama Airin? Hah? Bapak itu sombong. Selalu membatasi pergaulan Airin. Ngga boleh dekat-dekat dengan orang susah. Saya sudah ngga tahan Pak, ngga akan saya biarkan Airin terus-terusan Bapak tekan."

"Hebat kau sekarang, hah? Sudah berani melawan suami?"

Hujan yang mulai menyisakan gerimis telah membuat pertengkaran di antara keduanya kian terdengar. Sontak membuat kakak perempuan Bagio yang sedang menginap di sana, keluar dari kamar guna mengetahui apa sebenarnya yang tengah terjadi.

"Apa ini pada ribut? Ngga malu sama umur."

"Mba Rima ngga usah ikut campur urusan keluargaku!" ucap Bagio yang sudah lupa diri.

"Siapa yang mau ikut campur, biar jelek-jelek begini aku kakakmu! Ngga bisa kau hargai sedikit kedatanganku di sini?"

"Istriku ini sudah kurang ajar, Mba. Anak salah selalu saja dibelanya."

"Anak salah? Salah apa anakmu? Dia ini terlalu sombong Mba. Takabur dia. Karena terus dielu-elukan banyak orang, disanjung, semakin senang dia. Kerjanya pencitraan terus. Pura-pura rendah hati. Mana ada orang di luar sana yang tahu kalau dia ini sukanya meremehkan orang lain."

"Bisa diam mulutmu itu, Diah!" teriak Bagio penuh amarah.

"Sudah Bagio, sudah! Apa yang dibilang istrimu itu benar kok. Tempo hari aku dengar kau bilang sama Airin, kau malas baca karya ilmiah mahasiswa mu karena menurutmu judulnya ngga menarik. Ngga berbobot katamu. Gimana kau tahu isinya ngga berbobot, kalau dibaca saja belum?"

"Kalian kompak menyudutkan saya?"

"Bukan begitu Bagio, kami ini keluargamu. Kalau bukan kami yang menyadarkanmu, siapa lagi?!" jawab Rima bernada rendah.

"Saya ini pendidik Mba, orang berilmu. Ngga ada yang perlu kalian sadarkan."

"Betul, di luar sana kau pendidik. Ilmu yang kau bagikan ke banyak orang pun memang bermanfaat, tapi kalau di balik semua itu penyakit sombongmu ngga bisa diobati, apa pahala masih mau mengalir buatmu?!"

"Sudah! Mba Rima sebaiknya pulang saja!"

"Jadi kau usir kakakmu? Oke! Saya pergi sekarang juga."

Diah berusaha menghentikan kepergian kakak iparnya itu, namun tak berhasil. Kali ini Rima benar-benar telah sakit hati. Wanita itupun beranjak meninggalkan istana itu dengan sebuah taksi. Melihat hal itu, Diah memaksa Bagio untuk segera menyusul Rima.

Sambil mengumpat, Bagio mengendarai mobil hitamnya menembus hujan yang mulai deras lagi. Seseorang di persimpangan jalan menghentikannya dan mengatakan bahwa di depan sana kondisi jalan yang rusak parah tak memungkinkan untuk dilewati. Namun dengan bangganya, beliau mengatakan bahwa mobilnya canggih dan kuat menempuh medan apapun.

Dan kesombongan itu sukses membuahkan hasil. Dalam hitungan menit ke depan, Bagio pun kehilangan kendali. Membawa kemudinya pada lubang kematian. Tamatlah riwayat Bagio yang sombong.
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun