Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Lara Hati Ibunda

3 Februari 2024   21:41 Diperbarui: 3 Februari 2024   21:44 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayup bisikan orang-orang di sana mengatakan, "Kasihan badut itu ya, kira-kira anak muda atau orang tua isinya?" semua saling menebak dan bertanya-tanya sendiri. Tampilan kostum yang agak dekil itu kian menambah kesan dramatis tentang sosok di balik kostum badut Pokemon itu.

Di penghujung senja, tampak samar sosok seseorang melangkah gontai pada sela-sela pancaran lampu temaram. Berbalut kostum badut jalanan yang melindungi tubuhnya dari hawa dingin. Sebuah kepala karakter badut yang rasanya cukup berat, berada dalam pelukan tangan kanannya. Sementara sebuah plastik kresek hitam dijinjingnya di tangan kiri.

Langkah gontainya bukan disebabkan usia yang telah rapuh, melainkan hatinya lah yang tengah mengalami kerapuhan. Wanita yang usianya hampir menginjak angka lima puluh tahun itu, hendak kembali ke gubuk reyotnya setelah mengais rezeki hampir seharian di bawah terik matahari. Ditambah lagi kostum tebal yang tak jarang membuatnya merasa kegerahan. Namun ia tetap menari dan menampilkan gaya-gaya lucu di lampu merah, berusaha menghibur pengguna jalan meski peluh dan pilunya hati tiada terkira.

Hanya inilah yang dapat ia lakukan, tak ada rezeki di tempat lain yang lebih layak untuknya. Tak ada pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Imbas pandemi waktu itu, tenaganya untuk mencuci piring di restoran tidak dibutuhkan lagi. Tak tahu juga apa yang akan dikerjakan jika memaksakan diri pulang kampung.

Masih cukup beruntung berkat kebaikan hati seorang pemilik usaha sewa kostum, Bu Arum dapat menyewa kostum badutnya dengan harga yang lebih rendah dari harga sewa pasaran.

Kini tibalah ia di ujung langkahnya. Dengan guratan lelah di wajahnya, perlahan tubuh itu dijatuhkan di atas bale bambu yang mulai usang. Bu Arum menghela nafas, mendongak menatap langit pekat. Tak lama, terdengar suara pintu yang diseret terbuka. Dan menampakkan sepasang kaki anak gadis di sana.

Gadis berkuncir karet gelang itu pun kian mendekat kepada sang ibu dan meraih tangan hangat itu untuk diciumnya. "Mak, Ihsan sudah tidur. Hari ini pelajaran olahraga, kayaknya dia capek banget."

"Iya nduk. Ini beras seliter, dimasak ya!" seraya menyodorkan kresek hitam tadi kepada Nining. Di saat yang sama, terdengar nyaringnya keroncong menggema dari dalam perut gadis itu. "Perutmu sampe bunyi gitu, Ning. Maafin Mamak ya. Pasti sisa nasi tadi pagi kamu kasihkan buat adikmu ya?"

Baca juga: Gadis Risau

"Iya Mak, kasihan Ihsan."

"Sudah sana, buruan dimasak berasnya!"

Sebuah sudut lengkung yang manis sekejap terlukis di bibir Nining seiring kepalanya yang mengangguk. Dengan seliter beras dalam pelukannya, ia berlarian kecil ke dalam. Remaja kelas 2 SMP itu segera melaksanakan titah sang ibu. Dirinya pun sudah tak tahan ingin segera menyudahi rasa kelaparan itu.

Bu Arum belum juga beranjak dari tempatnya. Dalam gelap keheningan, ia meresapi luka dalam jiwanya. Betapa sungguh kekecewaan itu tak dapat lagi digambarkan dengan kata-kata. Pedih, tiap kali mengingat kepergian sang suami yang tak pernah kembali lagi. Dirinya sudah lelah untuk menerka-nerka sendiri, mengapa lelaki itu tak kunjung kembali? Masihkah ia hidup atau sudah mati di tanah orang?

Hanya berpasrah dan melanjutkan hidup bersama kedua anaknya, itulah saja yang dapat Bu Arum lakukan. Bahkan air mata pun sudah tak sanggup menetes lagi. Kejamnya hidup telah menjadikannya sosok wanita yang mati rasa.

"Mak, ayo masuk. Nanti Nining pijat." seru anak gadisnya memunculkan kepala dari balik pintu.

Bu Arum pun menoleh, tersadar dari lamunannya. Tersenyum menyambut ajakan yang terdengar sarat ketulusan itu. Lantas membuatnya beranjak dari duduknya.

"Mamak mau mandi dulu. Kamu nggak kerjakan PR, nduk? Mamak ngga usah dipijat. Besok-besok saja."

"Nining ngga ada PR kok, Mak. Nanti Nining pijat ya..."

"Sudah Ning, ngga usah. Makasih." sembari tersenyum Bu Arum berlalu menuju kamar mandi.

Nining merasa sedih. Gadis itu hanya ingin menyenangkan ibunya dengan hal sederhana yang saat ini sanggup dilakukannya. Setidaknya untuk menghibur dan mengurangi lelah yang dirasakannya. Meski sang ibu tak pernah terdengar mengeluh, namun sesungguhnya Nining sangat memahami lara dalam hati wanita itu.

Sementara sang ibu, juga tak ingin menyusahkan anak gadisnya lagi. Tak inginkan Nining kelelahan. Nining sudah membantunya menjaga Ihsan serta meringankan pekerjaan rumah tangga, Bu Arum sangat bersyukur. Sekaligus merasa sangat bersalah, merasa tak becus menjadi seorang ibu. Kalau bukan karena dapat bantuan dari Bu RT, mungkin Nining dan Ihsan sudah tidak dapat bersekolah lagi.

Bu Arum tak ingin mengganggu pikiran Nining dan Ihsan dengan hal-hal lain. Ia hanya ingin mereka melakukan tugasnya sebagai seorang pelajar. Biarlah, demi kedua anaknya, derita hidup rela ditelannya seorang diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun