Lelaki itu tampak memiliki wawasan yang luas. Tak seperti Gilang yang biasa-biasa saja waktu chatting. Nita cukup kesulitan mengimbangi obrolan Gilang. Gadis itu jadi tak berani banyak bicara karena takut salah dan membuatnya tampak bodoh.
Terlepas dari itu, Gilang sungguh lelaki yang baik hati. Nita sampai jatuh hati, meski baru satu kali bertemu langsung. Nita sangat menghargai waktu yang telah diluangkan Gilang selama ini untuk menyapanya lewat pesan setiap hari dan berterima kasih pula untuk pertemuan mereka kali ini.
Gilang itu seperti sosok pangeran impian yang didambakan semua gadis. Tampan, pintar, baik hati dan punya pekerjaan yang baik pula. Siapa yang tidak ingin memilikinya? Ternyata di dunia nyata sosok itu benar-benar ada, bukan cuma tokoh cerita khayalan dalam dongeng.
Rasanya sangat beruntung bisa mengenal Gilang. Walau akhirnya Nita hanya dapat memendam rasa. Pikir Nita, mana mungkin Gilang akan menyukainya? Nita merasa dirinya tak cantik, tak pintar, kuper, intinya ia tidak sepadan jika bersanding dengan Gilang.Â
Maka itu Nita mengambil keputusan untuk menjauh perlahan saja, tak mau terlalu sering lagi menghubungi Gilang. Ia tak ingin berharap lebih, berharap pada sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi. Apalagi Gilang pernah mengatakan kalau dirinya menganggap Nita sebagai adik. Hanya adik.
Meski hatinya sedih, Nita harus bekerja keras melawan kesedihan itu. Ia akan kembali menyibukkan diri dengan hal-hal lain yang lebih bermanfaat. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.Â
Usahanya selama ini untuk kembali mendapat pekerjaan telah membuahkan hasil. Nita pun kembali sibuk, bekerja setiap hari dan mendapat banyak kenalan baru. Tapi hati kecil tak sanggup berbohong. Tetap saja, ia tak pernah bisa melupakan Gilang yang sudah tak terdengar lagi kabar beritanya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H