Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Roman Artikel Utama

Cerpen: Terakhir Kali di Stasiun Poris

28 Desember 2023   08:59 Diperbarui: 28 April 2024   14:22 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Stasiun tua, sepi. (Sumber: Pixabay/yeon woo lee)

Baskoro duduk menopang dahinya dengan kedua tangan di atas meja makan. Pagi itu tak seperti biasanya, Baskoro yang dikenal tidak pernah sarapan malah duduk di kursi meja makan.

Sebuah pemandangan langka yang lantas membuat Eva terkejut. Wanita itu menghentikan sejenak langkahnya, meyakinkan dengan kedua matanya memandang dalam kepada suaminya. 

Sedang lelaki itu masih tetap menunduk seolah kehilangan paginya yang cerah, hingga tak menyadari Eva yang tadi berada di dapur kini telah sampai beberapa langkah di depannya. Dan bahkan wanita itu mulai mendekat.

"Bas, kamu sakit? Mau sarapan?"

Pertanyaan yang dilayangkan Eva sukses membuat Baskoro mengakhiri apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Lantas dia mendongak dan melipat kedua tangannya di atas meja.

"Ngga. Aku cuma... lagi ngga semangat saja." jawab Baskoro yang langsung bangkit dari kursinya dan beranjak pergi menuju ruang tengah.

Sikapnya membuat Eva tak jadi berkata-kata lagi, yang ada hanya menyisakan tanda tanya di hati Eva. Ada apa dengan suaminya?

Eva yang hanya bisa menghela nafas, memilih untuk menghampiri Savira. Anak gadis mereka yang sedang duduk di teras menunggu mobil jemputan sekolahnya datang. 

Namun belum sempat Eva duduk di samping anaknya, kijang silver yang sedari tadi ditunggu akhirnya tiba. Eva pun mengantar Savira hingga naik ke dalam mobil jemputannya itu dan bertegur sapa dengan Ibu sopir.

Baskoro pun pamit ketika Eva masih melambaikan tangan ke arah perginya kijang silver itu. Membuat Eva membalikkan tubuhnya ke arah suara Baskoro.

"Aku jalan dulu." ucapnya datar seraya menuntun motor maticnya untuk segera keluar dari dalam pagar rumah mereka.

"Tapi Bas, kamu ada masalah apa? Kok muka kamu...?"

"Ngga ada apa-apa. Sudah ya, aku jalan."

Lagi-lagi Eva hanya dapat mengangguk, mengiyakan kalimat suaminya lalu melepas kepergiannya ke kantor. Dan tanda tanya di hati wanita itu semakin besar, bagaimana bisa hatinya merasa tenang melihat wajah murung suaminya. Padahal sejak pulang kerja kemarin malam, Baskoro masih terlihat baik-baik saja, berbincang dengannya seperti biasa.

Diam-diam Baskoro merindukan Maurin. Memendam sendiri kerinduan itu sekian lama hingga semalam Maurin hadir di dalam tidurnya. Inilah alasannya mengapa pagi itu Baskoro tampak tidak bersemangat. Dia semakin merindukan sosok mantan selingkuhannya itu. Dia terus memikirkan kabar wanita itu.

"Aku kangen kamu, Maurin. Apa kamu sudah punya pacar sekarang?" gumam Baskoro bertanya-tanya sendiri dalam perjalanannya pagi itu.

Sejujurnya sebagian sisi hatinya hancur, Baskoro masih menyimpan rasa sayangnya yang tulus untuk Maurin. Tapi kenyataan tak dapat dipungkiri dirinya juga mencintai Eva. Dan kehadiran Savira dalam keluarga kecil mereka membuat Baskoro semakin tak mampu berlari ke arah Maurin.

Akhirnya setengah hari telah berlalu seolah tanpa cahaya di mata Baskoro. Dan semesta menghendaki keajaiban terjadi, masih di hari itu. 

Seolah dua jiwa terkoneksi dengan tepat, dari kejauhan sana wanita yang selama tiga tahun terakhir itu berjuang keras melupakan Baskoro akhirnya memberanikan diri lagi untuk menghubungi lelaki itu.

"Kamu sibuk Bas? Makan siang bareng, bisa?"

Berulang kali Baskoro membaca pesan singkat itu, yang masuk beberapa menit lalu ke ponselnya. Memastikan pesan yang diterimanya berasal dari nomor Maurin yang masih disimpannya. Tersadar dari lamunannya, lelaki itu memutuskan membalasnya. 

Begitu saja, tanpa berpikir lama-lama lagi. Jari jemarinya seolah tersihir mengetikkan kata demi kata untuk menjawab pertanyaan Maurin.

"Bisa. Mau makan di mana?"

Maurin yang tak yakin pesannya akan dibalas oleh Baskoro, tak kalah terkejut ketika lelaki itu benar-benar membalas pesannya. Alhasil mereka sepakat untuk bertemu, hanya makan siang bersama. Hanya sebatas itu dan tidak lebih. Begitulah kesepakatannya.

Baskoro tak berkedip memandangi wajah wanita yang semalam hadir dalam mimpinya. Kini wanita bertubuh mungil itu ada di hadapannya. Jarak keduanya hanya dibatasi oleh meja makan. Maurin yang sibuk mengaduk soto mie dalam mangkuknya, tak menyadari dirinya terus dipandangi.

"Kamu sering makan disini, Bas?"

Baskoro tersentak dan mengedipkan matanya, "Ngga juga." jawabnya singkat. Dia langsung menunduk untuk memulai suapan pertamanya. Begitu pun Maurin yang hanya tersenyum dan kembali menikmati makan siangnya.

Dua insan yang sama-sama masih memendam perasaan itu, berbincang kembali ketika keduanya telah selesai dengan makanannya masing-masing. Namun tak ada lagi kata cinta seperti dulu, tak ada pula kata rindu yang berani terlontar dari bibir mereka. 

Semua kata manis hanya dapat tertahan dalam sesaknya dada mereka. Hingga akhirnya setetes air mata terlihat di ujung mata Maurin.

"Jangan nangis Rin, aku ngga mau ketemu lagi kalau kamu nangis."

"Iya ngga." dengan punggung tangan Maurin menyeka air matanya dan dengan senyum yang dipaksakan dia memandang wajah Baskoro.

Di penghujung sore mereka akhiri pertemuan itu. Baskoro pun mengantarkan Maurin sampai di stasiun terdekat. Mengingat Maurin terbiasa beraktivitas menggunakan transportasi umum KRL. 

Tanpa mereka sadari, saat itu adalah terakhir kalinya mereka dapat bersama-sama duduk di atas motor menyusuri padatnya jalan raya di bawah langit sore. 

Dan itulah terakhir kalinya juga Baskoro mengantar Maurin sampai di stasiun Poris. Karena setelah hari itu, takdir akan menghukum mereka dengan cara tidak pernah mempertemukan mereka kembali.

Segala rasa yang pernah tercipta di antara keduanya, hanya dapat terus dipendam. Tersimpan menjadi satu rahasia yang terkadang menyiksa. 

Biar bagaimana pun tak kan ada seorang pun yang dapat menghapus masa lalu mereka. Dan kini setelah sekian tahun berlalu, entah keduanya atau hanya tinggal sebelah pihak yang masih memendam rasa. Atau bahkan sama sekali tak tersisa lagi rasa itu. Karena terlalu sakit bagi Maurin untuk mengingat kisah cintanya dengan Baskoro.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun