Saya adalah orang yang sangat suka travelling, khususnya ke curug (air terjun). Namun, kali ini saya dan pacar saya tiba-tiba memutuskan untuk tidak ke curug dan menjelajahi sebuah gunung kapur di Kabupaten Bogor yang jaraknya lumayan jauh dari rumah kami yaitu menempuh perjalanan sekitar 2 jam.
Sebelumnya, saya ingin menjelaskan dulu apa itu sompral, kalau di sunda itu artinya ngomong sembarangan di tempat angker dan mengundang interaksi dari mereka yang tak kasat mata.
Saat saya dan doi sampai disana kami menganggap semua baik-baik saja. Doi membeli tiket untuk masuk ke tempat wisata tersebut.
Namun, doi yang bisa di bilang seorang diberikan kelebihan oleh Tuhan untuk melihat suatu hal yang tak kasat mata, merasakan hal janggal ketika kami baru menaiki tangga menuju gunung kapur tersebut.
Saya menghela napas panjang "Buset, ini belum setengah perjalanan tangganya udah banyak banget."
"Sssstt. Jangan ngomong kaya gitu, jalan aja udah. Kalau gak kuat turun lagi."
"Kenapa ?"
Tiba-tiba doi mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya. Ini jarang sekali ia lakukan, karena jika sedang dalam perjalanan ia tidak pernah merokok karena khawatir tidak kuat menanjak (sebenarnya gak ada hubungannya sih) tapi emang doi baru kali ini tiba-tiba ngerokok.
"Kok malah ngerokok sih." Saya menatapnya heran
"Nanti aku jelasin. Tapi, gak disini."
Saya hanya mengangguk, tanda saya mengerti bahwa ini bukan tentang hal biasa. Tapi, tentang makhluk tak kasat mata.
Suara langkah kaki yang terdengar jelas
Sampailah kami di ujung tangga tersebut. Disana ada sebuah pos kecil. Di samping pos terdapat jalan ke atas menuju gunung kapur dan kanan kiri itu sebuah tanah kosong dan jurang.
Doi meminta saya untuk berhenti sejenak di pos tersebut. Namun, kali ini saya yang merasakan hal aneh yang berasal dari samping kiri pos tersebut yang dipenuhi dengan sampah dedaunan kering.
Jelas sekali terdengar suara langkah kaki dari sebelah kiri kami, suara langkah kaki orang berjalan di atas dedaunan kering. Saya reflek melihat ke arah sumber suara namun sayang, saya tidak menemukan apapun. Lalu, saya melihat ke arah doi. Dan "Kamu denger itu?"
Dia hanya mengangguk dan menenangkan bahwa semua akan baik-baik saja. Karena, sebatang rokok tadi sudah habis seusai banyak gerak geriknya yang begitu mencurigakan entah sedang berkomunikasi atau apapun itu. Akhirnya, doi mengajak saya untuk melanjutkan perjalanan ke atas puncak gunung kapur.
Semenjak saya bersama dia hampir 4 tahun, saya menjadi lebih sensitif dengan hal yang tak kasat mata hingga bisa merasakan dan melihat kejanggalan saja, tapi bukan wujudnya.
Ada yang kakek-kakek yang mengikutiÂ
Sepanjang perjalanan mulut saya memang selalu mengeluh "Gila sih ini, tanjakannya parah banget. Siapa sih yang bikin jalan kaya gini."
"Udah jalan aja, ngeluh mulu."
Perjalanannya sangat melelahkan dengan medan yang sangat terjal dan juga curam, kanan kiri masih hutan belantara benar-benar serasa naik gunung sungguhan. Bahkan, ada beberapa jalan yang kita bisa naik ke atas dengan berpengangan tali.
Kami terus melanjutkan perjalanan hingga akhirnya terjadi sesuatu pada saya.
Ketika saya ingin mendaki, tanjakan yang agak sedikit menukik, saya terpeleset dan terjatuh. Lalu, dengan sigap doi menarik tas yang saya gemblok di punggung saya, tapi terjatuh juga.
"Gimana sih, jalan yang bener makanya. Fokus. Jangan bengong. Inget jangan bengong. Kita lagi di ikutin."
"Sama siapa ?"
"Ada kakek-kakek."
"Tapi kenapa?"
"Udah jalan aja. Jangan ngeluh terus, kalo ga kuat mending turun lagi. Dari pada kenapa-kenapa."
Saya merasa masih kuat dan kembali mendaki melanjutkan perjalanan.
"Sumpah, aku cape banget. Jalannya nanjak terus. Kapan sampenya. Ujungnya mana coba."
"Yakin masih mau lanjut ke atas?"
"Kayanya engga deh. Cukup sampai disini aja."
Akhirnya, saya menyerah dan memutuskan untuk turun. Doi memberitahu jika dilanjutkan pun, akan membahayakan saya, karena sedari tadi kita di awasi dari mulai naik sampai sekarang.
Daun yang bergerak tidak senada dan tiba-tiba hampir terjatuh seperti ada yang mendorong
Diperjalanan pulang, awalnya biasa saja. Bahkan, kami bertemu banyak orang dan pendaki yang ingin naik ke puncak gunung kapur tersebut. Namun, ketika kami sedang mengantri untuk turun.
Mata saya tertuju pada sebuah daun yang bergerak tidak senada yang sebelah kiri ke arah atas dan sebelah kanan ke arah bawah seperti berlawanan padahal saat itu sedang tidak ada angin yang berhembus. Sangat tidak masuk akal bukan ?
Lalu, saya memberitahukan kepada doi, dan doi bilang abaikan saja. Lalu, setelah itu tiba-tiba saya hampir terjatuh dan berpegangan pada pundak doi. Dan, doi melihat ke arah saya. Namun, saya hanya berpikir positif mungkin memang tanahnya licin, jadi saya terpeleset.
Kami kembali melanjutkan perjalanan hingga kembali lagi ke pos dan doi minta berhenti kembali dan membakar rokok, lalu meninggalkannya di pos tersebut.
Saya bertanya kembali namun dia tetap bilang nanti akan cerita setelah pulang.
Setelah, selesai kami turun dan ke arah tempat tiket untuk memberikan tiket jaminan kecelakaan ketika berwisata dan setelah itu kami ke parkiran.
Hantu wanita berbaju merah itu ikut kesini dan sekarang hilang
Singkat cerita sebelum kami pergi ke gunung kapur, sehari sebelumnya doi main ke rumah ngapel seperti biasa. Namun, doi mengeluh bahwa badannya tidak baik-baik saja, pegal-pegal dan merasa lemas.
Tidak lama kemudian doi pamit pulang. Saya begitu jengkel karena pulangnya terlalu cepat, maklum kami bertemu hanya seminggu sekali. Lalu, setelah doi sampai di rumah, ia memberitahu bahwa ada hantu wanita berbaju merah yang ikut bersamanya. Terakhir, ia melihatnya di pabrik tempatnya bekerja, namun setelah itu menghilang dan dia tidak sadar bahwa hantu tersebut ikut bersamanya sampai ke rumah. Tempat kerja doi di jakarta dan rumahnya di bogor.
"Aku sengaja pulang lebih cepat, karena emang satu badan aku bener-bener gak enak dan dua aku takut hantu itu nyaman di rumah kamu dan tinggal disitu. Makanya mending aku bawa pulang lagi."
"Lagian, pulang bawa jurig (setan)."
Bercerita semua yang terjadi di perjalanan menuju puncak gunung kapur
Doi bercerita ketika sudah sampai di rumah malam harinya lewat chat. Ini membuat bulu kuduk saya merinding dan merasa seperti di awasi di dalam kamar padahal hanya ada saya.
"Tadi yang pas awal kita mau naik, ternyata aku masih liat hantu wanita berbaju merah itu masih ada, terus pas pulang aku juga masih liat habis itu ilang. Tadi, pas ditangga, itu sebenarnya aku sengaja ngerokok, karena ada yang ngikutin dan dia minta rokok ya aku turutin."
"Terus, pas naik sama turun tadi di pos kenapa berenti, yang pertama emang dia yang nyuruh kita berenti dan yang kedua aku cuma bakar rokok doang terus aku tinggalin abis itu ajak kamu turun. Nah pas, di atas itu kan ada batu gede, ada kakek-kakek duduk disitu dia bilang jangan naik lagi ke atas dan kebetulan kamu juga minta turun."
"Lalu, daun-daun yang bergerak itu disana ada seorang perempuan yang memang sengaja mengalihkan perhatian kamu dan bagusnya kamu tidak berpengaruh dan ketika kita turun kamu sempat hampir terpeleset itu karena ada yang mendorong kamu."
"Dan, kakek-kakek itu yang sengaja membuat kamu mengeluh terus karena dia tidak ingin kita naik, karena sudah diperingati dari awal kita gak boleh naik, kita tetap naik. Mungkin sebabnya karena si hantu wanita berbaju merah itu atau ada gesekan energi antara mereka. Makanya kita gak dibolehkan naik."
Bulu kuduk saya semakin merinding, merasakan bahwa memang ada yang memperhatikan saya, namun saya mencoba positif thingking dan saya memutuskan untuk tidur. Namun, selama beberapa jam saya mencoba tidur, tetap saja cerita itu sampai terbawa ke dalam mimpi dan membuat saya tak bisa terlelap hingga pagi.
Dan, yang masih menjadi misteri kemanakah si hantu wanita berbaju merah itu ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H