Mohon tunggu...
Novianti Sjahrir
Novianti Sjahrir Mohon Tunggu... Lainnya - Pegawai/ASN

Penyuka handycraft, kuliner, and artwork

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Setelah 19 Tahun, Akankah Profesi PRT Diakui dan Dilindungi UU?

7 Februari 2023   12:00 Diperbarui: 7 Februari 2023   12:10 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian besar masyarakat, menurut saya pasti setuju bahwa pembantu rumah tangga sangat diperlukan. Apalagi pada zaman ekonomi tinggi ketika banyak ibu rumah tangga tidak bisa hanya berdiam diri di rumah sehingga harus turut menopang ekonomi keluarga dan bekerja di luar rumah. Terkadang banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan menjadi terbengkalai jika tak ada orang yang membantunya di rumah. Di sanalah kebutuhan akan pembantu rumah tangga  (PRT) sangat dirasakan. Tidak hanya membantu membereskan rumah, PRT juga diperlukan untuk menjaga buah hati, bahkan orang tua atau orang sakit yang memerlukan perawatan di rumah. Dalam hal ini, saya rasa, kita perlu membedakan PRT ke dalam dua pembeda, yaitu PRT sebagai orang yang diminta bantuan (biasanya dari kalangan keluarga yang sedang tidak bekerja atau tetangga dekat) dan pekerja profesional yang digaji berdasarkan kompetensinya. Untuk yang terakhir tentu saja baby sitter, satpam, manager rumah tangga, koki, dan lain-lain mungkin yang seharusnya diatur tersendiri dalam undang-undang pelindungan pekerja rumah tangga. Sebuah UU yang dibutuhkan lantaran dapat mengakui dan melindungi pekerja rumah tangga selayaknya tenaga kerja lainnya. Nah, pembeda ini perlu sangat jelas dibedakan sehingga isu yang menimbulkan keraguan pengesahan rancangan undang-undang pelindungan pembantu rumah tangga (RUU PPRT) dapat dihilangkan.

Apa saja yang ditekankan dalam substansi RUU PPRT? Perlindungan hukum jika terjadi eksploitasi berkaitan dengan jam kerja dan hak asasi manusia, antara lain waktu libur dan ibadah, jaminan sosial, upah, dan kekerasan. Hal tersebut sangat penting, karena berdasarkan data, kasus kekerasan terhadap PRT yang sering dilaporkan berupa berbagai bentuk kekerasan dari psikis, fisik, ekonomi, dan seksual serta pelecehan terhadap status profesinya sangat sering terjadi, belum lagi yang tidak dilaporkan. Selain itu, banyak juga pengaduan berkaitan dengan upahnya yang tidak dibayar, pemecatan sepihak menjelang hari raya sehingga majikan tidak perlu membayarkan tunjangan hari raya (THR), bahkan tanpa THR samasekali meskipun sudah bekerja bertahun-tahun.

Namun, sepertinya masih ada ketakutan dari beberapa pihak khususnya majikan jika UU ini disahkan. Beberapa rumah tangga yang dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah, saya rasa, paling merasakannya. Mereka bisa jadi khawatir jika PRT mereka wajib mendapatkan gaji sesuai upah minimum regional (UMR), memperoleh jaminan sosial, padahal majikannya saja mungkin hanya pedagang kecil atau buruh pabrik yang juga hanya mendapatkan gaji UMR. Hal ini tentu saja perlu penjelasan dan diskusi bersama untuk mendapat kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak (pemberi kerja dan pekerja).

Belum lagi jika dalam UU PRT tersebut terdapat pasal mewajibkan  seorang PRT memiliki kompetensi/ keahlian. Hal itu tentu menambah beban pemerintah untuk menyiapkan sarana dan prasarana  untuk Balai Latihan Kerja (BLK) yang selama ini masih terbatas hanya untuk pekerjaan tertentu seperti baby sitter dan satpam. Balai latihan kerja itu perlu disiapkan tentu saja agar calon PRT yang biasanya memiliki pendidikan rendah dapat menambah kompetensinya. Apalagi jika ditambah aturan tidak boleh mempekerjakan PRT anak, tentu pengangguran dari masyarakat menengah ke bawah yang hanya dapat bekerja pada bidang yang tidak membutuhkan sertifikasi atau ijasah semakin banyak dan menambah beban pemerintah. Langkah tegas pemerintah harus segera ditetapkan dan tidak baik berlama-lama mempertimbangkannya.

Namun, apapun isu yang mencuat yang menyebabkan RUU PRT sulit untuk disahkan perlu dibahas dan dicari solusinya dan harus dijadikan agenda yang penting agar segera ditemukan kata sepakat untuk pengesahan UU PRT ini. Hal itu karena dengan kehadiran UU PPRT itu merupakan bentuk hadirnya Negara dalam pelindungan dan pemenuhan hak-hak PRT sebagai pekerja, penghapusan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap pekerjaan PRT dan PRT itu sendiri. Selain itu, UU tersebut dapat mengatur hubungan kerja PRT dan pemberi kerja dengan hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja, dan memperkuat pelindungan bagi PRT migran yang bekerja di negara tujuannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun