Dua buah bola kecil dihubungkan dengan seutas tali yang diikat dengan cincin di atasnya. Itulah latto-latto atau yang di luar negri dikenal sebagai clackers balls atau naknok balls.Â
Nama lainnya di Indonesia adalah katto-katto, tek-tek, dan cek-cek. Nama latto-latto diambil dari bahasa Bugis Makassar, yang berarti bunyi tabrakan dari dua bola kecil yang bergerak jika dimainkan. Nama itu sesuai cara memainkannya, yaitu dimainkan dengan membenturkan kedua bola diujung tali sehingga menghasilkan suara "tek-tek-tek".
Beberapa orang mengeluhkan suaranya yang dianggap terlalu bising karena permainan ini memang cukup bikin penasaran bagi yang sedang belajar atau bahkan yang sudah mahir untuk memainkannya.Â
Suara-suara beradunya dua bola kecil yang terbuat dari plastik polimer ini mulai melekat di telinga karena sangat khas. Kita bahkan dapat menebak suara tersebut adalah bunyi latto-latto yang sedang dimainkan meskipun dari jarak yang cukup jauh.Â
Iramanya yang khas dari latto-latto itu bisa juga menenangkan jiwa karena konsisten dan seperti bunyi benda yang dipukul pelan ketika terapi atau meditasi. Namun, itu bergantung sudut pandang pendengarnya.
Untuk orang tua yang terbiasa melihat anaknya duduk anteng memainkan permainan atau sekadar nonton video dari gawainya, mungkin suara latto-latto agak mengganggu tetapi terlepas dari suaranya tersebut, kebiasan memainkan latto-latto ini sebenarnya memiliki manfaat yang menurut saya luar biasa bagi anak-anak terutama yang berusia 8 hingga 11 tahun.Â
Anak-anak pada usia ini perkembangan motorik dan pemahaman terhadap aturan permainan sudah mulai baik. Pada usia tersebut mereka sudah harus diperkenalkan dengan permainan yang diistilahkan dengan social play games with rules (8---11 tahun) dan games with rules and sport (11 tahun ke atas) sesuai teori tahap bermain berdasarkan usia dan perkembangan kognitif anak dari Jean Piaget, salah satu tokoh psikologi asal Swiss.Â
Tahapan yang diuraikan oleh Jean Piaget adalah sensory motor play (usia 0---2 tahun), symbolic atau make believe play (usia 2---7 tahun), social play games with rules (8---11 tahun), dan games with rules and sport (11 tahun ke atas).
Terlepas dari teori tersebut, saya melihat kembalinya tren memainkan mainan tradisional seperti latto-latto ini sangat menyenangkan. Anak-anak dapat merasakan manfaat yang  bisa mengalihkan dan mengurangi dampak kecanduan gawai yang saat ini banyak dialami oleh anak-anak.Â
Selain itu, anak yang memainkan latto-latto bisa terstimulus kemampuan motoriknya. Permainan itu juga dapat meningkatkan fungsi koordinasi antara kemampuan kognitif dan motorik.Â
Di samping itu, jika mainan ini dimainkan bersama teman sebaya, perkembangan sosio emosional anak-anak akan meningkat karena menguji kesabaran dan meningkatkan jiwa kompetisinya.Â
Hal ini akan sangat berpengaruh kepada kecerdasan emosional anak. Apalagi setelah pandemi Covid-19 selama sekitar dua tahun ini, emosi sosial anak-anak kurang dilatih bahkan hilang samasekali karena adanya pembatasan jarak sehingga pertemuan dengan anak-anak seusianya juga dibatasi.
Latto-latto yang kembali populer tentu saja akan menginspirasi orang untuk mempopulerkan permainan tradisional lain. Ada beberapa permainan tradisional yang dapat dikembangkan kembali karena bermanfaat, cara bermainnya yang mudah, dan permainan itu dapat dimainkan secara berkelompok.Â
Permainan-permainan itu seperti kelereng, yoyo, kartu remi, congklak, gasing, bola bekel, dan kartu kuartet sepertinya dapat bertahan atau populer lagi seperti latto-latto. Permainan tersebut selain dapat melatih sosio emosional anak-anak, juga dapat melatih kesabaran dan melatih konsentrasi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H