Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang merupakan salah satu kegiatan Pemilihan Umum 2024, sudah memasuki tahapan pendaftaran Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres).Â
Sesuai dengan urutan pendaftar, sudah ada 3 calon pasangan Calon Capres/Cawapres yang mendaftar sampai tulisan ini dibuat, yaitu pasangan Anies R Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN), Ganjar Pranowo dan Mahfud MD (GAMA) serta Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Penetapan resmi Calon Capres dan Calon Cawapres akan dilaksanakan pada 13 November 2023 nanti.
Menariknya, pengusungan salah satu Calon Capres/Cawapres 2024 yang dikuatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menimbulkan diskursus serius dan sangat mendasar dalam pelaksanaan hukum tata negara negara kita. Pendapat ahli hukum khususnya ahli hukum tata negara 'terpecah' namun tetap pada koridor mematuhi bahwa keputusan MK itu bersifat terakhir dan mengikat _(final and binding)_.
Keputusan MK ini sudah 'diadili' oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait pelanggaran etik yang dilakukan oleh seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi. Keputusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan seseorang berusia di bawah 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres asal pernah atau sedang menjabat kepala daerah dinilai sebagai 'politik dinasti'.Â
Sebanyak 15 guru besar serta pengajar hukum tata negara (HTN) dan hukum administrasi negara mengkritik keras Ketua MK Anwar Usman atas putusan syarat pencalonan Capres-Cawapres ini. MKMK akhirnya menjatuhkan hukuman melanggar kode etik yang tergolong pelanggaran berat kepada Ketua MK yang juga hakim konstitusi Anwar Usman.
Kompas juga langsung melakukan survei pasca putusan MK. Survei Kompas untuk melihat persepsi masyarakat tentang majunya Gibran sebagai Cacawapres merupakan bentuk dinasti politik atau bukan. Survei ini dilakukan melalui telepon pada 16-18 Oktober 2023 melibatkan 512 responden yang tersebar di 34 provinsi.Â
Responden yang menjawab 'ya' sebagai Politik Dinasti sebanyak 60,7%, yang menjawab 'bukan politik dinasti' sebanyak 24,7% dan yang menjawab 'tidak tahu' sebanyak 14,6%. Apakah persepsi ini akan mengarah kepada sikap positif atau sikap negatif terhadap 'politik dinasty'? Belum tentu merupakan jawaban pastinya.
Dalam menyikapi pernyataan 'politik dinasti' ini, aktivis 98, yang menjatuhkan rezim Orde Baru, berbeda pendapat. Para aktivis 98 diingatkan kembali enam tuntutan mereka pada 1998 yaitu: pertama, penegakan supremasi hukum; kedua, pemberantasan KKN; ketiga, pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya; keempat, amandemen konstitusi; kelima, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri), dan; keenam, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya. :
Tidak ada yang melarang secara tegas 'politik dinasti' dalam enam tuntutan gerakan 1998.
Sekarang para aktivis 98 sedang 'adu argumen', beradu integritas, idealisme dan bahkan beradu 'kepentingan' dalam menyikapi berkembangnya pernyataan 'politik dinasti' ini. Para aktivis _civil society_ juga 'terpecah' persepsi, sikap dan perilakunya. Sejatinya integritas dan idealisme tidak disejajarkan dengan argumentasi dalam 'pembelaan' suatu pandangan. Yang benar tetaplah benar dan yang etis tetaplah etis.
Menyimak perhelatan Pilpres 2024 ini, saya selalu teringat mengenai proses terbentuknya persepsi, sikap dan perilaku. Persepsi merupakan cara pandang individu yang didasari oleh panca indera. Sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku. Intinya, sikap belum tentu menentukan perilaku.Â
Seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap makanan soto ayam dan ayam geprek, tetapi apakah akan menyantapnya (perilaku makan)? Belum tentu. Mungkin saja saat itu masih kenyang atau baru saja makan siang dengan menu yang lain.
Persepsi mengawali seseorang bersikap positif atau bersikap negatif. Sebagai contoh, dapat dilihat dari warna-warninya suatu produk iklan. Ada warung makan yang 'mengecat' tampilan warungnya dengan warna cerah dan berani seperti warna kuning, hijau bahkan merah. Lampunya terang benderang di malam hari. Ini adalah upaya menarik perhatian konsumen.
Setelah tertarik karena panca indera: mata, konsumen mendengar (telinga) cerita tentang cita rasa dan macam menu di rumah makan tersebut. Persepsi konsumen tersebut membuat sikap positif atau sikap negatif pada dirinya terhadap warung makan tersebut.
Konsumen itu akhirnya mendatangi dan mencoba makan di warung makan tersebut. Akibatnya, semua panca indera melakukan perannya (hidung mencium aroma masakan, lidah merasakan rasa masakannya) yang akhirnya memunculkan sikap positif atau sikap negatif terhadap warung makan tersebut. Sikap positif dan sikap negatif ini akan terlihat apakah konsumen tersebut akan datang lagi? Apakah 'akan terus' merekomendasikan warung makan ini?
Banyak alasan seseorang tidak dapat berperilaku sesuai sikap positif dan sikap negatifnya. Mungkin yang bersikap positif terhadap warung makan tersebut, tidak mau datang lagi karena jauh dari rumahnya. Mungkin juga sudah banyak warung makan warna warni tersebut, yang dinilai sama, sehingga konsumen tersebut mencoba warung makan warna warni lainnya.
Begitu juga yang mempunyai sikap negatif terhadap warung makan tersebut. Konsumen yang mempunyai sikap negatif mungkin terpaksa mendatangi dan makan di warung makan warna warni tersebut karena lapar dan tidak ada lagi warung makan lain di sekitarnya. Mungkin juga teman 'gank'nya (termasuk cewek incarannya) mengajak makan di warung tersebut.
Menjelang 14 Februari 2024, setiap individu Indonesia yang mempunyai hak pilih (204.807.222 pemilih) sedang membangun dan dibangun persepsi dan sikapnya masing-masing.Â
Saat ini spanduk, _banner_, dan iklan yang besar berseliweran di semua pinggiran jalan dan media. Ini semua untuk 'menganggu' persepsi pemilih. Setelah itu, diskusi terbuka, temu relawan, olah raga bersama dan kegiatan lainnya mengumpulkan massa, merupakan cara membangun sikap pemilihnya.
Para pemilih sejatinya 'datang' atas kemauan sendiri. Akan tetapi masih banyak berita media yang menyatakan bahwa 'simpatisan' yang didatangkan dan 'dimobilisasi' untuk datang. Bahkan untuk mendatangkan 'pemilih', Cacapres dan Cacawapres mendatangkan artis, penyanyi, band, ustadz dan lain sebagainya agar menarik perhatian.
Sejatinya cukup penyebaran undangan. Dengan demikian terlihat jelas bahwa acara yang dilakukan oleh Cacapres dan Cacawapres itu merupakan hasil dari membangun persepsi atau sikap positif pemilihnya.
Setelah perlahan sikap positif dan sikap negatif pemilih terbentuk, selanjutnya berharap sikap positif dan negatifnya dapat mengarahkan perilakunya untuk menentukan pilihannya.Â
Saat ini, ada yang bersikap positif terhadap Perubahan, ada yang bersikap positif terhadap Keberlanjutan Indonesia Unggul dan ada yang bersikap positif terhadap Politik Dinasti. Inilah yang membuat menariknya belajar tentang persepsi, sikap dan perilaku.
Sejatinya pesta demokrasi, khususnya sejak Reformasi ini, bertujuan mendidik masyarakat menjadi lebih bemartabat dan lebih beradab dalam berpolitik. Untuk mewujudkannya tentu harus melewati beberapa tantangan. Salah satu tantangannya adalah mengeliminir maraknya _'money politik'_.Â
Saya menyarankan agar KPU mengajak semua Partai Peserta Pemilu dan Cacapres/Cacawapres secara sendiri maupun bersama untuk membuat dan menyebarkan spanduk, _banner_ dan iklan yang besar dan masif bertuliskan: *"AMBIL UANG, SEMBAKO DAN BINGKISANNYA, TAPI TENTUKANLAH PILIHAN SESUAI HATI NURANI MASING-MASING"*.
Akhirnya, Pemilu 2024 merupakan proses pembentukan persepsi, sikap dan perilaku pemilih serta referendum yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Referendum terhadap perubahan atau keberlanjutan Indonesia Unggul atau 'politik dinasti'. Kita tunggu hasilnya pada 14 Februari 2024 nanti.
Jumat, 10 November 2023
Novian Pranata, psikolog.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H