Mohon tunggu...
Novian Pranata
Novian Pranata Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Psikolog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Politik Identitas dan Dakwah

28 Agustus 2023   16:25 Diperbarui: 28 Agustus 2023   16:30 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

POLITIK IDENTITAS DAN DAKWAH

Sejak Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden partainya untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 pada 3 Oktober 2022 lalu, gaung politik identitas semakin menggema dan marak. Anies tetap dinilai sebagai gubernur produk kemenangan politik identitas (Islam). Diskusi tentang politik identitas semakin masif dengan semua jurus dan argumentasinya.

Mengutip chatgpt, politik identitas merujuk pada praktek dan strategi politik yang berfokus pada identitas kelompok tertentu, seperti suku, agama, gender, orientasi seksual, atau asal-usul etnis. Dalam politik identitas, kelompok-kelompok ini mencoba memperjuangkan kepentingan khusus mereka dan mengorganisir diri mereka dalam upaya mencapai perubahan politik atau sosial. Tujuan utama dari politik identitas adalah memperjuangkan pengakuan, persamaan, dan keadilan bagi kelompok-kelompok yang telah mengalami diskriminasi atau marginalisasi dalam masyarakat. Hal ini dilakukan dengan menyuarakan kepentingan dan kekhawatiran khusus kelompok tersebut serta memobilisasi dukungan politik untuk mencapai tujuan mereka.

Dari pengertian ini, maka identitas menjadi penting. Kita semua mempunyai identitas masing-masing. Diawali dari identitas keluarga, dilanjutkan dengan identitas warga kampung atau dusun, identitas kelompok hobby tertentu, identitas alumni tempat sekolah, identitas suku bangsa, identitas agama dan terakhir adalah identitas sebagai warga negara Indonesia.

Tanpa disadari setiap individu masuk atau bahkan membuat identitas sendiri agar menjadi ‘eksis’. Awalnya ‘ngumpul-ngumpul’, terus membuat jadwal pertemuan rutin, membuat baju atau kaos sebagai pertanda, menunjuk pemimpin walaupun secara informal, terus berkembang membuat AD ART dan seterusnya dan seterusnya. Apalagi anggota identitasnya ada yang menjadi pejabat penting seperti presiden, menteri, gubernur, bupati, anggota DPR/DPRD, Panglima TNI, Kapolri dan lain sebagainya maka akan semakin meriah pertemuan reuninya. Dalam konstelasi politik, dapat juga dilihat dari upaya membentuk kelompok pendukung seperti Teman Ahok, Projo, Joman dan lain sebagainya.

Menurut Tajfel dan Turner (dalam Islam, 2014), individu menentukan identitas mereka sendiri berkaitan dengan kelompok sosial dan identifikasi tersebut untuk melindungi dan mendukung identitas dirinya. Identitas kelompok ini melibatkan kategorisasi "dalam kelompok" (in group) seseorang berhubungan dengan "kelompok luar" (out group) dan kecenderungan untuk melihat kelompoknya sendiri lebih positif dari kelompok luar.

Teori identitas sosial merupakan teori psikologi sosial klasik yang berupaya menjelaskan konflik antar kelompok sebagai fungsi definisi diri berbasis kelompok. Muzafer Sherif (1961) berpendapat bahwa konflik antar kelompok terjadi ketika dua kelompok bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas. Sherif melakukan eksperimen Robbers Cave. Sebanyak 22 anak laki-laki berusia 11 dan 12 tahun diminta secara sukarela mengikuti eksperimen ini. Anak-anak laki-laki ini dipilih dan mempunyai latar belakang yang sama seperti tidak saling mengenal, dari kelas menengah atas, dan kedua orang tua beragama Kristen. Mereka dibagi 2 kelompok sehingga ada 11 orang di tiap kelompok. Mereka kemudian diajak ke camping ground yang berbeda. Masing-masing kelompok melakukan kegiatan bersama dan akhirnya mereka membuat nama kelompoknya masing-masing yaitu The Eagles dan Rattles dengan bendera, gaya, dan perilaku masing-masing. Kegiatan bersama ini berlangsung selama 4 hari. Akhirnya masing-masing kelompok sudah mempunyai prasangka terhadap kelompok lainnya. Selanjutnya mereka dipertemukan dan yang terjadi mereka berkonflik sampai berkelahi karena saling mempertahankan kelompoknya.

Eksperimen Sheriff ini setidaknya menjelaskan kondisi perilaku pemilih Islam dan non Islam pada Pemilu 2019. Mereka sudah mempunyai prasangka masing-masing dan menjurus kepada perpecahan. Apakah terjadi ‘perpecahan’? Dengan berlangsungnya waktu, ‘perpecahan’ semakin berkurang dan dengan segala upaya tidak menimbulkan perilaku agresif. Menimbulkan ‘dendam’? Ya, mau tidak mau akan terjadi. Selama ‘dendam’ itu untuk mempertahankan kelompok dengan cara memperbaiki perilaku kelompok merupakan sesuatu yang benar. Misal, umat Islam sebagai mayoritas terus memperbaiki diri dan menunjukkan perilaku yang akhlakul karimah.

Brewer dan Pierce (2005) menyatakan bahwa kompleksitas identitas sosial mengacu pada cara individu secara subyektif merepresentasikan hubungan di antara banyak keanggotaannya dalam kelompok. Kompleksitas indentitas itu dapat meliputi agama, etnis, pekerjaan, organisasi politik, olahraga dan lain sebagainya. Banyak penelitian sebelumnya melihat hubungan kompleksitas identitas sosial dan dengan sikap antar anggota kelompok minoritas dengan anggota kelompok mayoritas. Minoritas bisa menjadi sumber pengaruh yang kuat dalam mempromosikan inovasi dan perubahan (Moscovici, 1994; Moscovici & Faucheux, 1972 dalam Crano and Seyranian, 2007).

Politik identitas sudah berlangsung sejak jaman perjuangan. Gerakan Pemuda 1928, sangat bangga dengan sebutan Jong Jawa, Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Celebes dan lain-lain. Mereka bangga mengusung identitasnya tetapi mereka sejatinya mempunyai tujuan yang satu yaitu persatuan Indonesia. Pemikir dan politisi juga bangga dengan sebutan Bung yang menunjukkan identitasnya.

Pada Pemilu pertama 1955 dan Pemilu 1971, Partai Politik peserta Pemilunya juga dengan jelas mengusung identitasnya berdasarkan agama dan alirannya. Partai Masyumi, Partai Nahdatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah, Partai Politik Tarikat Islam (yang mengusung identitas Islam), Partai Kristen Indonesia dan Partai Katholik, Partai Komunis Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia, Partai Buruh. Pada Pemilu jaman Orde Baru (1977 sd 1997), tetap ada satu Partai yang mengusung identitas agamanya yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lambang yang digunakanpun sangat mencirikan Islam yaitu Ka’bah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun