Mohon tunggu...
Novian Pranata
Novian Pranata Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog

Psikolog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Politik Identitas dan Dakwah

28 Agustus 2023   16:25 Diperbarui: 28 Agustus 2023   16:30 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi lain, perlu disadari bahwa membangun politik identitas merupakan cara untuk meningkatkan soliditas kaum minoritas. Kaum minoritas dengan sendiri semakin ‘kompak’. Lihatlah sebaran perolehan akhir suara Jokowi Ma’ruf di Bali, Sulut, NTT, Papua dan Papua Barat. Sayapun punya keyakinan bahwa jika data TPS di Jakarta dianalisis lebih dalam maka 98 % masyarakat Tionghoa ‘pasti’ memilih Ahok karena Ahok mewakili kaum minoritas.

Kita dapat mendefinisikan minoritas dan mayoritas, dalam dua cara utama: dalam hal jumlah dan konsensus serta dalam hal norma dan kekuasaan. Definisi pertama, minoritas secara numerik lebih kecil dari kelompok mayoritas (jumlah). Selama tiga dekade terakhir, minoritas telah dioperasionalkan terutama dalam penelitian pengaruh sosial. Peserta biasanya diberi tahu bahwa, menurut survei, sampel populasi misalnya 'mayoritas 82%' atau 'a minoritas 18%', mendukung posisi pada isu tertentu (Baker & Petty, 1994; De Dreu & De Vries, 1993; Moscovici & Personnaz, 1980 dalam Gardikiotis, 2011).

Definisi kedua, Moscovici (1976, 1994 dalam Gardikiotis, 2011) mengemukakan bahwa jumlah kecil tidak serta merta menentukan minoritas. Minoritas terutama adalah kelompok orang yang berpikir dan bertindak berbeda, mereka (bisa perorangan atau mayoritas numerik seperti kelompok orang kulit hitam di Afrika Selatan), berusaha dengan gagasan dan tindakan mereka untuk menghasilkan inovasi dan perubahan sosial. Dengan demikian, mayoritas biasanya memegang posisi normatif (yaitu pendapat dan keyakinan yang mencerminkan standar yang 'diterima' dalam masyarakat) dan dianggap memiliki kekuasaan yang tinggi dan minoritas memegang posisi anti-normatif atau menyimpang dan dianggap rendah kekuasaannya.

Gardikiotis (2011) menyatakan bahwa minoritas dapat memberikan pengaruh. Minoritas dengan mengajukan ide-ide alternatif dan orisinil seringkali menjadi agen inovasi dan perubahan sosial bagi masyarakat. Mereka menciptakan konflik sosial dengan mengajukan proposisi alternatif terhadap persepsi masyarakat yang sudah mapan (mayoritas). Minoritas memengaruhi pemikiran, sikap, dan perilaku orang dengan bersikap konsisten dan fleksibel dalam berhubungan dengan anggota mayoritas. Pengaruh mereka lebih sering bersifat laten (yaitu, terbukti pada tindakan yang tertunda, tidak langsung, dan pribadi) daripada yang nyata.

Intinya politik identitas merupakan suatu keniscayaan. Kalau kita menggunakan identitas mayoritas dan minoritas, maka minoritas akan bertambah solid dan kompak. Mayoritas biasanya lebih ‘lengah’ dalam menyikapinya. Kita juga dapat menggunakan jalan keluar yang dilakukan oleh Sherif (1961) dalam menyatukan kelompok Eagles dan Rattles yaitu dengan mewujudkan tujuan bersama (saya lebih senang menggunakan istilah ‘musuh bersama’). Setelah ‘pertentangan’ hebat antar kelompok, mereka harus pulang ke rumah masing-masing. Truk pengangkut mereka mogok dan rusak (disengaja). Mereka wajib bekerja sama agar truknya dapat berjalan. Akhirnya mereka (22 orang) menjadi solid dan kompak kembali.

Sejatinya pandemi Covid kemaren dapat dimanfaatkan sebagai ‘musuh bersama’. Saya menemukan beberapa RT RW di Jakarta bersatu padu menjaga lingkungannya. Bansos yang ada, mereka kumpulkan dan mereka buat posko masak bersama di beberapa keluaraga yang sifatnya sukarela. Makanan yang sudah masak diantarkan kepada anggota RT RW yang sedang isoman. Makanan digantung di pagar rumah masing-masing dengan waktu antara yang sudah disepakati. Sejatinya masyarakat Indonesia itu rukun dan guyub.

Dalam kaitannya dakwah Islam, data-data tersebut di atas dapat dijadikan data untuk melakukan peta dakwah. Sejatinya masyarakat Islam diberi dakwah bil hikmah (disampaikan dengan arif dan bijaksana) dan bil hal (dengan memberikan contoh yang nyata). Para ustadz dan ustadzah perlu memahami bahwa secara umum masyarakat Islam sudah memahami halal haram secara substansi walaupun tetap perlu selalu dingatkan. Di sisi lain, kearifan dan kebijaksanaan dalam memberikan pemahaman terhadap hal-hal yang tidak substansi menjadi penting untuk dilakukan.

Tidak perlu ragu lagi bicara tentang politik karena Islam mengenalkannya dengan ‘siasah’. Islam meletakkan politik sebagai satu cara penjagaan urusan umat (ri'ayah syu-un al-ummah). Nabi Muhammad SAW juga mengatakan bahwa “barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu, dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".

Sekali lagi, politisi Islam perlu melakukan politik secara akhlakul karimah, tidak perlu saling mencaci dan mencela, menyampaikan pendapatnya dengan sopan dan beradab dalam berdiskusi, menggunakan dasar ilmu, menjadi pendengar yang baik dengan tidak memotong pembicaraan orang lain dan lain sebagainya. Setiap individu Islam mengemban fungsi dakwah.

Jumat, 7 Juli 2023
Novian Pranata, psikolog

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun