Mohon tunggu...
Novia Elga
Novia Elga Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Call Me Novia. Sedang menjelajahi dunia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Garis Waktu

17 Juni 2019   06:25 Diperbarui: 17 Juni 2019   06:44 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Berputar Pada Masanya

Bukankah hidup tentang terjatuh dan bangkit ? tentang patah dan tumbuh kembali ? tentang air mata dan mengusapnya dengan percuma ? tentang hidup yang menuju mati ? atau tentang harapan dan keadaan ? tentang keluh dan kasih ? tentang perjuangan dan keputusasaan? Tentang kegagalan dan keberhasilan ? yang terus berputar selaras dengan waktu yang terus membuat diri kita pudar. Manusia yang setiap harinya dibutakan dengan misi-misi pribadi sehingga lupa dengan kebahagiaannya sendiri.

Kejadian-kejadian yang terus berputar pada masanya dengan dan tanpa peduli apakah kita mau menerima atau tidak. Tidak akan pernah peduli apakah hati kita hancur lebur atau bahagia sejadi-jadinya. 

Akan terus berputar pada masanya, dimana senyummu tak akan pernah dipedulikan dan tangismu tak akan pernah dihiraukan. Tetap saja, esensinya sama bahwa kamu harus menjalani kehidupan dengan lapang dada.

Terjatuh dan merasa diri kita bukan apa-apa kemudian menangis seakan-akan dunia ini akan berakhir. Kemudian selang beberapa waktu, kita disadarkan oleh keadaan dan mulai menegakkan akal sehat, mencoba menata kembali hati yang sudah berserakan entah siapa yang menghancurkan. Waktu menyembuhkan luka itu dan kita menjadi manusia normal kembali. Bukankah ini unik ?

Seperti ada sebuah fase alam dimana kita harus terjatuh untuk bangkit, dimana kita pernah patah untuk kembali tumbuh dan pernah sesekali kita harus dibuat menangis untuk dibuat tersenyum oleh waktu. 

Manusia yang berada pada fase terbawah akan berjanji untuk tidak mengulangi lagi akan tetapi di kemudian hari melakukan hal yang sama persis. Bukankah ini unik ?

Datang kemudian pergi. Digantikan dengan yang baru kemudian lengkap kembali. Rapuh serta utuh adalah konsekuensi hidup. Jika kehidupan adalah tentang bahagia semata, kita tidak akan pernah merasakan betapa serunya ketika air mata jatuh tak beraturan tanpa sungkan dan menjadi beban. Kita tidak akan pernah sadar betapa diri kita ini kuat untuk menjalani.

Yang terpenting, selalu ingat bahwa Allah menciptakan kita bukan hanya untuk bersusah hati, bukan untuk menjadi hambanya yang lemah dan tidak percaya diri. Tetapi Allah menciptakan manusia untuk menjadi Khalifah di bumi dan juga untuk dirinya sendiri.

Segala kejadian akan berputar pada masanya. Segala perih akan berakhir pada waktunya. Segala ujian akan berakhir dengan bahagia. Tangismu akan berakhir dengan pahala dan derajat yang mulia. 

Untuk itu, bukan menjadi alasan untuk patah, terpuruk, dan kemudian mengemis pada manusia yang hakikatnya juga tidak memiliki daya. Jika waktu sedang menempatkan kita pada keadaan yang paling buruk, bukankah lebih nyaman jika bersanding dan bergurau dengan Allah ? mungkin saja Allah rindu pada kita yang selalu sibuk pada urusan dunia.

Lucunya, banyak manusia yang tidak sadar terhadap perputaran masa. Merasa bahwa ujian adalah akhir dari segalanya. Memandang dunia begitu sempit, sesempit kamar kos harga seratus ribuan. 

Padahal jika kita mau membuka mata, akan ada ribuan tawa yang tersembunyi, akan ada jutaan hikmah yang diciptakan spesial untuk diri kita yang maha lemah ini. Sayangnya, masih banyak yang tidak menyadari.

Perputaran waktu akan menghantarkan kita pada titik menemukan jati diri. Merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dari jiwa kita. Sepertinya kita sudah tidak lagi menjadi manusia yang terlalu lemah tak berdaya, sepertinya raga kita sudah sedikit lebih kuat untuk ditempa dan seiring dengan berjalannya waktu kita akan dihantarkan pada kenyataan bahwa usia kita sudah menua. 

Sudah bukan anak bayi yang dijaga dua puluh empat jam di rumah dan sudah menjadi manusia yang senang melalang buana. Lalu sudah seperti apa diri kita sebenarnya ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun