Mohon tunggu...
Novia Dwi Darmayanti
Novia Dwi Darmayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perebutan Kawasan Hutan di Desa Siria-ria: Masyarakat Adat Melawan Klaim KLHK

31 Maret 2024   05:40 Diperbarui: 31 Maret 2024   05:46 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh: TF3000 dari Pixabay

Di Desa Siria-ria, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, terjadi konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Konflik ini berawal dari klaim pemerintah atas kawasan hutan yang merupakan wilayah masyarakat adat. Konflik semakin memanas setelah program lumbung pangan atau "food estate" dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo di kawasan tersebut. Konflik ini menimbulkan dampak yang signifikan dan telah berlangsung sejak program reboisasi pada tahun 1963. 

Lahan masyarakat adat diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan dan sebagian dijadikan kawasan "food estate". Sebagai penduduk asli wilayah ini, mereka sudah turun temurun menggantungkan hidup mereka pada hutan yang dianggap sebagai sumber mata pencaharian dan warisan budaya mereka. Namun, klaim KLHK atas wilayah ini mengancam eksistensi mereka dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Konflik yang Berlarut-larut

Konflik agraria antara masyarakat adat Siria-ria dan KLHK sudah berlangsung sejak program reboisasi pada tahun 1963. Pada puncaknya pada tahun 1979, empat warga meninggal dan hampir semua laki-laki ditahan atau menjadi buron. Konflik ini mereda setelah beberapa langkah penyelesaian, namun memanas kembali setelah pengukuran dan penataan batas lahan "food estate" pada tahun 2020. 

Program lumbung pangan yang dicanangkan langsung oleh Presiden pada tahun 2020 memberikan berbagai dampak setelah berjalan lebih dari tiga tahun. Pertanian di desa terpencil itu maju, namun konflik agraria yang sudah lama tidak terselesaikan kembali panas setelah pengukuran dan mulai melakukan pengukuran batas lahan "food estate" pada tahun 2020.

Masyarakat adat Siria-ria telah mengalami pengorbanan besar dalam konflik dengan program reboisasi, termasuk korban jiwa dan terasing. Saat ini, mereka menuntut kejelasan penyelesaian konflik oleh KLHK dan meminta agar hutan adat mereka dikeluarkan dari kawasan hutan negara. 

Mereka telah hidup dari hutan adat tersebut selama 15 generasi dan mendesak agar klaim pemerintah atas kawasan hutan tersebut dicabut. Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi menyatakan bahwa program "food estate" justru mengalihkan kepemilikan lahan masyarakat adat kepada perusahaan dengan harga murah, sehingga sama artinya dengan upaya pemerintah mengalihkan kepemilikan lahan masyarakat adat kepada pengusaha-pengusaha besar. Masyarakat adat menentang hal ini dan meminta agar konflik tersebut segera diselesaikan.

Klaim KLHK dan Dampaknya pada Masyarakat Adat

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengajukan klaim atas kawasan hutan di Desa Siria-ria dengan alasan perlindungan lingkungan dan pengelolaan yang lebih baik. KLHK berpendapat bahwa pengelolaan mereka dapat memperbaiki kondisi hutan dan mengurangi deforestasi yang terjadi di kawasan tersebut. 

Namun, klaim KLHK ini telah menimbulkan konflik dengan Masyarakat Adat Siria-ria. Masyarakat Adat merasa bahwa klaim tersebut tidak mempertimbangkan hak-hak mereka sebagai pemilik adat yang telah tinggal di wilayah tersebut selama berabad-abad. Mereka juga berpendapat bahwa klaim KLHK mengabaikan pengetahuan dan praktik berkelanjutan yang telah mereka terapkan dalam pengelolaan hutan.

Selain itu, klaim KLHK juga mengancam lingkungan di area tersebut. Kebijakan yang diusulkan oleh KLHK mungkin mengarah pada pembukaan hutan yang lebih besar, eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, dan kerusakan ekosistem yang tidak dapat diperbaiki. 

Hal ini dapat berdampak negatif pada keanekaragaman hayati, kualitas udara, dan ketersediaan sumber daya alam bagi Masyarakat Adat dan masyarakat umum. Masyarakat Adat Siria-ria percaya bahwa pengelolaan hutan harus didasarkan pada pengetahuan dan nilai-nilai mereka sebagai penjaga lingkungan sejati. Mereka menginginkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak serta keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan di kawasan tersebut.

Kerangka Hukum dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia

Di Indonesia, hak-hak Masyarakat Adat diakui dan dilindungi oleh berbagai peraturan dan undang-undang. Instrumen hukum tersebut antara lain, Undang-Undang Dasar 1945 mengakui hak-hak masyarakat adat sebagai bagian dari keberagaman budaya Indonesia. 

Pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini bertujuan untuk mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di wilayah adat mereka.

Namun, meskipun ada kerangka hukum yang jelas, implementasi undang-undang tersebut sering kali belum memadai. Banyak Masyarakat Adat yang masih menghadapi tantangan dalam memperoleh pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka. Birokrasi yang rumit, kurangnya pemahaman terhadap hak-hak Masyarakat Adat, dan kepentingan yang sering berbeda menjadi hambatan dalam melindungi hak-hak mereka. 

Selain itu, kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering kali tidak mempertimbangkan hak-hak Masyarakat Adat dan nilai-nilai budaya mereka, hal ini tentu menghasilkan konflik dengan Masyarakat Adat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan KLHK untuk memastikan bahwa kerangka hukum yang ada diimplementasikan dengan baik dan bahwa hak-hak Masyarakat Adat diakui dan dilindungi secara efektif.

Pentingnya Mengakui dan Menghormati Hak Adat dalam Perselisihan Lahan

Perselisihan lahan di Desa Siria-ria menunjukkan pentingnya mengakui dan menghormati hak-hak adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat Adat adalah penjaga lingkungan sejati dan memiliki pengetahuan serta melakukan praktik berkelanjutan yang berharga. Pemerintah dan pihak-pihak terkait perlu bekerja sama dengan Masyarakat Adat untuk mencapai keadilan dalam kesenjangan lahan dan melindungi kelangsungan lingkungan. Perlindungan hak-hak Masyarakat Adat harus menjadi prioritas dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam.

Selain itu, penting untuk meningkatkan pemahaman tentang hak-hak Masyarakat Adat di kalangan pemerintah, masyarakat umum, dan Masyarakat Adat sendiri. Dukungan dan sumber daya yang memadai juga harus disediakan untuk memperkuat perjuangan Masyarakat Adat dalam mempertahankan hak-hak mereka dan menjamin masa depan yang berkelanjutan. Dengan mengakui dan menghormati hak-hak Masyarakat Adat, kita dapat memastikan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan, kelangsungan budaya, dan keadilan sosial bagi semua pihak yang terlibat dalam gangguan lahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun