Mohon tunggu...
Novia Ayya Shofia
Novia Ayya Shofia Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswi

Mahasiswi Tadris Biologi IAIN Kudus 2019

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perbedaan Respon Masyarakat terhadap Larangan Salat Jumat di Masa Pandemi Covid-19

3 Juni 2020   22:00 Diperbarui: 4 Juni 2020   06:45 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayat tersebut mengandung arti bahwa "janganlah kalian melakukan hal - hal yang menyebabkan kamu celaka". Sebaliknya "janganlah kamu meninggalkan hal - hal yang menyebabkan kamu celaka"

Sunggu musibah yang silih berganti yang dirasakan umat islam bahkan tak hanya umat islam tapi seluruh dunia yang merasakan dampaknya. Kita dapat belajar dari beberapa contoh di masa Nabi. Rasulullah SAW pernah menegur salah seorang sahabat karena membiarkan ontanya tidak tertambat  dengan dalih tawakkal kepada Allah SWT, sementara ia masuk masjid hendak shalat. 

Kita juga teringat hadits lainnya, "Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah Tha'un di sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya". (HR. al-Bukhari & Muslim). Nabi pernah menganjurkan tinggal di rumah daripada ke masjid hanya karena hujan lebat yang menakutkan. 

Nabi pernah berujar agar yang sakit tidak bercampur dengan yang sehat (HR. al-Bukhari dan Muslim). Rasa takut dan sakit juga diyakini sebagai uzur (alasan) untuk tidak shalat jamaah di masjid. Contoh-contoh seperti ini sejatinya dapat menjadi preseden yang baik bagi umat Islam untuk beribadah di masa wabah

Maka dengan ini MUI dengan sigap memutuskan untuk menetapkan kebijakan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 yang isinya tentang Penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19.  Seperti yang di tetapan oleh MUI para ulama lainnya juga berpendapat Para Ulama bersepakat bahwa melaksanakan shalat Jumat bagi umat Islam yang berjenis kelamin laki-laki, baligh, berakal, sehat (tidak sakit atau tidak terhalang uzur), muqim (bukan dalam perjalanan) hukumnya fardhu 'ain.  

Shalat jum'at juga tidak diwajibkan bagi orang yang buta dengan syarat jika tidak ada orang yang menuntunya. Demikian juga menurut kesepakatan para ualama dari empat Imam Mazhab, menurut pendapat Maliki, Syafi'I dan Hambali beliau menyatakan jika ada yang meuntunya maka ia wajib melaksanakannya. Sementara menurut Hanafi beliau berpendapat hal ini tidak diwajibkan. 

Demikian juga Maliki, Syafi'I dan Hambali beliau berpendapat bahwa bagi Orang yang sedang pergi ke luar kota dan disuatu tempat itu tidak melaksanakan shalat jum'at, tetapi ia mendengar adzan, maka ia wajib melaksanakannya. Sementara menurut pendapat Hanafi bagi orang yang berdiam di luar kota, ia tidak wajib untuk melaksankan sholat jum'at meskipun dia mendengar adzan. Ketika ada uzur seperti sakit, hujan lebat, ataupun pandemi maka kewajiban shalat Jumat gugur. 

Terkait merebaknya Covid-19, diharamkan bagi yang terpapar Covid-19 menghadiri shalat Jumat (termasuk shalat jamaah) dengan dalil hadits, "Jangan yang sakit bercampur-baur dengan yang sehat" (HR. al-Bukhari & Muslim). Hadits lain, "Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah Tha'un di sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya". (HR. al-Bukhari & Muslim).

Bagi yang berhalangan shalat Jumat, ia menggantinya dengan shalat dhuhur empat rakaat. Adapun menggantinya dengan shalat Jumat di rumah itu tidak dibolehkan dengan pertimbangan bahwa tujuan shalat Jumat adalah berkumpulnya banyak orang di sebuah tempat (masjid), sebagaimana makna semantik dari kata jum'ah yang berarti "berkumpulnya banyak orang" (ijtima' alnas). Jumatan di rumah juga tidak dibolehkan menurut Imam Abu Hanifah karena rumah bukanlah tempat umum.

Imam Malik juga tidak membolehkan jumatan di rumah dengan mensyaratkan jumatan harus di masjid. Imam al-Syafi'i dan Imam Ahmad juga tidak membolehkan jumatan di rumah karena mensyaratkan jumlah yang hadir minimal 40 orang yang berkategori wajib jumatan. Dengan begitu, yang berhalangan shalat Jumat karena ada uzur seperti Covid-19 ini menggantinya dengan shalat dhuhur empat rakaat di rumah. Pahalanya sama dengan pahala shalat Jumat. Dalilnya adalah hadits, "Jika seorang hamba tertimpa sakit, atau tengah bepergian, maka ia dicatat memperoleh (ganjaran) serupa ketika ia melakukannya dalam kondisi muqim dan sehat". (HR. al-Bukhari).

Bagi masyarakat yang sudah menyadari hal ini, pasti paham atas himbauan pemerintah serta penetapan kebijakan MUI terkait pelarangan beribadah ini. Karena sebagai warga negara yang baik sebisa mungkin memahami atas apa yang terjadi saat ini dan mematuhi aturan pemerintah. bagi masyarakat yang menyadari hal ini pasti mereka mematuhi protokol yang ada karena ia berfikir dengan mematuhi aturan yang ditetapakan pemerintah maka dapat mengurangi terjadinya penyebaran virus sehingga negara ini akan bisa segera membaik secepatnya. Terkait himbauan yang diharuskan untuk beribadah dirumah saja pasti bagi seseorang mengetahui bagimana syarat -- syarat melaksanakan shalat jum'at akan mematuhinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun