Mohon tunggu...
Novia Wulandari Umi Fadila
Novia Wulandari Umi Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemahaman Praktis Partisipasi Politik Penting untuk Diketahui Sebelum Menentukan Pilihan Suara Pilkada Serentak 2024!

23 September 2024   08:51 Diperbarui: 23 September 2024   09:23 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Partisipasi Politik

        Negara dalam mengatur kehidupan masyarakat yang dikuasainya tidak sepenuhnya kehendak pribadi sang pemimpin atau hanya segelintir atau golongan tertentu saja, terutama pada negara demokrasi ada istilah yang dikenal dengan partisipasi politik. Partisipasi sendiri dapat dipahami sebagai keikutsertaan, atau turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Sementara itu, jika politik diartikan sebagai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). 

Maka hal ini akan mencakup segala urusan dan tindakan politik seperti kebijakan, hukum negara, juga pelaksanaan produk ideologi negara seperti pancasila yang menjunjung nilai ketuhanan maka di Indonesia terdapat kemetrian agama sebagai bagian dari sistem perpolitikan mengatur umat bergama. Urusan ini dapat berupa pemerintahan negara atau terhadap negara lain (dalam dan luar negeri), seperti kedua negara itu bekerja sama dalam suatu bidang. Bahkan lebih lanjutnya urusan mengenai ekonomi, kebudayaan, partai, organisasi, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).

Partisipasi politik menjadi salah satu hak yang didapatkan karena status kewarganegaraan seseorang, hal ini berupa pemberian hak politik oleh negara kepada seseorang karena memiliki status kewarganegaraan di suatu tempat tertentu. Studi terhadap partisipasi politik lahir setelah studi kewarganegaraan oleh TH Marshall di tahun 1950an. Kemunculan berbagai gerakan sosial dan revolusi industri terutama pada pemikiran mengenai setiap orang seharusnya memiliki hak yang sama untuk dapat ikut serta dalam membuat sebuah kebijakan publik, karena yang menjalani hidup bermasyarakat tidak hanya para penguasa. Keberadaan gerakan sosial ini berbarengan dengan hadirnya partisipasi politik pada masanya saat itu. Meskipun, partisipasi politik tidak sekedar memberikan suara dengan pencoblosan atau mengikuti pemilihan umum. Tetapi dalam praktiknya ada keanekaragaman partisipasi politik yang bisa diwujudkan, seperti yang dijabarkan oleh beberapa tokoh berikut.

        Menurut Millbrath dan Goel (1977) partisipasi politik adalah sebuah tindakan oleh warga negara, yang mana mereka ikut serta untuk mendukung atau mempengaruhi pemerintahan dan politik. Millbrath dan Goel melihat bahwa partisipasi politik dipengaruhi oleh niat, sumber daya, dan keterampilan individu. Dalam riset yang dilakukan pada masyarakat Amerika, Millbrath dan Goel (1977) mengklasifikasikan tipologi awal partisipasi politik yaitu Apathetics atau apatis, adalah mereka yang tidak ikut dalam proses politik. Spectators atau penonton, mencakup golongan yang sedikit terlibat dalam proses politik. Gladiators atau pejuang aktif dalam partisipasi politik (pelaku, aktor). Dapat dikatakan siapa saja yang berhak atas pertisipasi politik, adalah mereka yang memiliki kewarganegaraan atas suatu negara, menjadi warga negara, dan ada negara atau sistem perpolitikan yang mengatur mereka. Sehingga dalam pengaturan negara itu, para warga dapat ikut serta dalam membuat kebijakan atau sistem lainnya dalam masyarakat.

        Selanjutnya terdapat beberapa kerangka pemikiran untuk menganalisis besar peluang dan bentuk partisipasi politik yang diberikan kepada warga negara. Berikut 5 (lima) kerangka teoritis, yaitu pluralis, elit, kelas, pilihan rasional, dan postmodern.

  • Kalangan Pluralis memiliki pandangan bahwa partisipasi politik adalah hal yang penting dilakukan, yang bertujuan menciptakan masyarakat demokratis pluralitas aktor atau keberagaman para aktor yang ikut serta pada partisipasi politik bagi kaum ini menjadi salah satu cara untuk mewujudkan integrasi nasional. Dengan maksud supaya negara beroperasi sesuai dengan fungsinya, berdasarkan aspek plural yang ada. Contoh partisipasi politik oleh Alford dan Friedland (1985) dalam (Dobratz, Waldner and Buzzell 2012) dengan kajian bentuk tindakan warga pada organisasi sosial dan gerakan sosial politik pada tahun 1960-an. Menyatakan bahwa bentuk partisipasi politik yang dimaksudkan kalangan pluralis terwujud dalam birokrasi pemerintahan, berupa mengorganisir warga agar mengikuti kegiatan pemungutan suara partai politik untuk mengisi posisi legislatif. Pendekatan ini ditentang oleh Marger (1987), dengan asumsi ada beberapa indikator dalam pluralitas partisipasi politik yang dianggap tidak baik. Pertama, bahwa tingkat partisipasi yang tinggi, dapat mengakibatkan kediktatoran kelas menengah dan pekerja. Sehingga legitimasi kekuasaan negara dapat terancam. Kedua, kritik pada fungsi pengetahuan, bahwa para legislator memiliki pengetahuan yang lebih daripada rakyat biasa. Ketiga, dalam pembuatan kebijakan, adanya keragaman partisipasi politik akan menyulitkan negara dalam membuat kebijakan. Karena tidak semua rakyat beserta kompleksitasnya akan mendorong kepentingan bersamanya, sementara itu di sisi lain terdapat para legislator yang memiliki legitimasi lebih untuk membuat suatu kebijakan.
  • Pemikiran kaum elit sebagai antithesis dari kalangan pluralis perihal mengelola ketegangan politik yang muncul dari pluralitas partisipasi politik. Bagi kaum elit, partisipasi politik para pemilih/rakyat hanya dianggap sebagai massa yang terlibat dalam pemilu, sementara itu pemegang kekuasaan untuk mengatur aliran sumber daya tetap berada di tangan para elit/legislator. Karena para aktor yang bersaing dalam mengatur kehidupan publik disini adalah kaum elektoral, partai politik, dan birokrasi di dalam sistem kenegaraan.
  • Perspektif kelas yang terinspirasi dari Marx & Engels dalam Karya Komunis Manifesto (1948). Dengan keberadaan kelas borjuis yang berada di titik supraordinat dan buruh di subordinat. Membuat pemikiran kerangka kelas menyatakan, partisipasi politik kelas bawah akan sulit untuk mencapai tujuannya seperti realokasi kekuasaan, kebijakan yang berpihak kepada kelas bawah, dan lainnya. Karena setiap kelas memiliki identitas kelasnya sendiri dan hal ini mempengaruhi pembentukan sikap dan bentuk partisipasi politiknya. Partisipasi politik kelas subordinat hanya akan bersifat simbolis dan menjadi klaim atas pertahanan dari dominasi kelas.
  • Pendapat dari kerangka berpikir pilihan rasional menyatakan bahwa setiap rakyat dipandang memiliki kepentingan ekonomi serta orientasi nilai dalam melakukan partisipasi politik. Setiap orang yang ingin turut andil dalam partisipasi politik akan mempertimbangkan cost & reward yang akan didapatkannya. Hasil pengamatan Downs (1957) bahwa orang yang rasional akan memilih keputusan jika reward atau keuntungan yang didapatkan lebih besar daripada costnya. Jika dalam suatu pilihan dia berada di posisi sebaliknya atau tidak menguntungkan, maka seseorang akan abstain (menjauhkan diri, menghindar, tidak ikut serta).
  • Menurut pendekatan perspektif postmodern, partisipasi politik dipandang sebagai kebebasan untuk mengeksplorasi kehidupan kewarganegaraan dalam ketegori inklusi, eksklusi, identitas, dan asosiasi politik seseorang. Artinya bahwa partisipasi politik pada era postmodern akan mempertimbangkan asumsi kritis, dengan pemikirannya kehidupan pada awal abad ke-21 sangat dipandu oleh konsumerisme, teknologi, globalisasi, dan ketidakpercayaan pada bentuk-bentuk tradisional partisipasi politik.

      

  Terdapat dua (2) bentuk partisipasi politik dalam negara modern saat ini, yaitu partisipasi politik formal (institusional) dan partisipasi politik non-formal (non-institusional).

Bentuk partisipasi politik formal:

  • Politic talk atau politic discourse merupakan ruang diskusi bagi orang-orang dengan sudut pandang politik yang sama. Keberadaan ruang diskusi ini akan meningkatkan niat warga negara untuk memilih. Menurut Inglehart (1990) tingkat diskusi politik mungkin terjadi di negara maju dan berkorelasi positif dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Huntington (1991) menjelaskan bahwa ruang diskusi politik memberikan point penting pada pluralitas masyarakat.
  • E-politic bentuk hasil dari transmisi pengetahuan tentang politik yang berbasis dunia virtual atau dalam internet. Melalui internet seseorang dapat mengetahui segala informasi tentang politik bahkan dalam hal keterlibatan langsung dalam pemungutan suara sekalipun. Dapat dilakukan melalui internet.
  • Kampanye atau canvassing. Keikutsertaan dalam kampanye politik atau canvassing menjadi bentuk kontak langsung dengan masyarakat untuk menjelaskan atau mempromosikan isu yang sedang ingin diwujudkan, mendukung kandidat politik atau mendukung tujuan sosialnya, serta memberikan suara atau argumentasi menjadi contoh lainnya dalam bentuk ini. Kampanye dan canvassing dalam pelaksanaannya memerlukan banyak sumber daya (waktu dan uang) sebagai pendukung keberlangsungan kampanye tersebut.

Bentuk partisipasi non-institusional, terdapat 3 saluran penyampaian yaitu melalui coretan/graffiti; Protes dan Demonstrasi; Gerakan Sosial, Politik dan Revolusi.

  • Coretan atau graffiti menjadi salah satu bentuk partisipasi politik non formal berbentuk coretan/gambar mengenai kritikan suatu ide politik. Coretan ini dibuat pada tempat yang strategis, agar ide/pesan yang tertulis dapat tersampaikan kepada khalayak umum. Fungsi lain grafiti adalah sebagai alat komunikasi ideologi atau kepercayaan politik, sebagai wadah perdebatan ide politik, sarana sosialisasi politik kepada khalayak umum, sebagai media katup penyelamat/pengganti menyampaikan ide/gagasan politik.
  • Aksi, protes dan demonstrasi merupakan segala bentuk ketidaksetujuan pada keadaan publik yang bersifat kolektif (dilakukan bersama). Partisipasi ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan dalam suatu gerakan massa dengan tujuan mengubah kebijakan atau kondisi pada tatanan publik.
  • Gerakan Sosial/Politik dan Revolusi. Partisipasi yang berawal dari adanya ketegangan, kepanikan, fungsi agresi, bahkan konflik di masyarakat dimana mereka tidak percaya pada kekuasaan yang ada ataupun pada perubahan struktur sosial yang ada di masyarakat. Memiliki orientasi perubahan sosial, baik pada aspek bidang tertentu atau keseluruhannya. Contohnya gerakan sosial untuk perubahan kediktatoran pemimpin negara yang berujung reformasi.

References

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun