Mohon tunggu...
Novia Kartika
Novia Kartika Mohon Tunggu... Freelancer - Stay Healty and Positive

Halo, saya Novia seorang mental health enthusiast, saya hobi menulis seputaran gaya hidup, kesehatan mental, kritikan sosial dan pendidikan. Visi saya adalah mengedukasi dan memberi pengetahuan pada oranglain mengenai hal-hal yang mungkin tidak bisa didapatkannya secara bebas. Saya adalah orang yang teoritis (sebagian besar orang berkata seperti itu haha) jadi jikalau mungkin artikel saya terkesan bertele-tele mohon maaf sekali, namun saya sangat terbuka dengan kritikan dan sarannya. Salam kenal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Merekonstruksi Kembali Arti Kesembuhan bagi Para Penderita Gangguan Kesehatan Mental

20 November 2018   00:22 Diperbarui: 21 November 2018   15:50 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: legalbeagle.com

Isu-isu kesehatan mental memang mulai mendapat perhatian khusus di tahun 2000-an ini terutama beberapa tahun terakhir oleh khalayak, meskipun sebenarnya banyak penelitian sudah dilakukan sejak beberapa abad lalu. 

Di Indonesia sendiri, isu ini memang mulai mendapatkan titik cerahnya beberapa tahun terakhir ini, pengesahan UU mengenai Kesehatan Jiwa tahun 2014 lalu sebagai salah satu contohnya, kemudian mulai masifnya gerakan bebas pasung yang tersebar di seluruh Indonesia dengan satu memiliki satu visi yang sama-sama mulia.

Kesehatan mental memang sudah seharusnya mendapat perhatian khusus karena merupakan bagian penting dari konsep "manusia yang sehat," sehat itu tidak hanya bebas dari sakit fisik saja namun secara psikis juga. Dengan melihat sehat secara keseluruhan dikatakan bahwasannya manusia selain bebas dari penyakit, dia juga mampu berpikir kritis, kreatif dan berfungsi sebagaimana perannya dimasyarakat.

Bagaimana dengan cara kita melihat individu lain ketika dikatakan bahwasannya ia "terganggu" atau tidak sehat? Pendekatan model medis namanya, adalah salah satu pendekatan umum yang diungkapkan oleh Baltrusaityte (2003) dan berpendapat bahwa penyakit adalah kelainan yang dialami oleh organ tubuh tertentu yang spesifik. 

Penyakit dianggap sebagai entitas yang diskrit, dimana pasti memiliki sebab/etiologi. Contoh sederhananya adalah seseorang yang mengalami flu dianggap pastilah disebabkan adanya virus flu yang menyerang seseorang. 

Pendekatan ini memang biasa digunakan dalam dunia kedokteran termasuk dalam penanganan gangguan kesehatan mental yang menjadi ranah Psikiatri. Gangguan kesehatan mental dalam hal ini dipandang sama seperti penyakit fisik lainnya.

Akibat definisi ini menimbulkan sekat yang jelas antara kondisi normal dan abnormal pada seseorang yang ditentukan secara objektif melalui sebuah protokol diagnosis, selain itu muncul buku-buku klasifikasi (seperti pengklasifikasian penyakit yang diakibatkan kondisi biologis pada umumnya) seperti buku ICD dan DSM yang biasa digunakan sebagai patokan diagnosis gangguan kejiwaan dan memunculkan klasifikasi mereka yang sembuh, belum sembuh dan tidak bisa sembuh. 

Karena yang dikatakan "objektivitas" muncul konsekuensi lain yang tidak bisa kita abaikan begitu saja yakni adanya cara pandang abnormalitas yang dijauhkan dari perbincangan mengenai konteks lokalitas (budaya) dan waktu.

Salah satu fenomena yang sangat terkait dengan konteks lokalitas dan waktu seperti misal contohnya adalah fenomena "kemunculan wahyu" yang dikisahkan dalam agama kita masing-masing "menghinggapi" beliau yang disebut sebagai "pencerah." Contohnya dalam agama Islam adalah Nabi Muhammad SAW, sementara kalau dalam agama kristiani maka yang dimaksud adalah Yesus sang Penyelamat. 

Fenomena wahyu jika dikaitkan dengan protokol diagnosis saat ini maka sifatnya sangat tidak relevan, mengapa? Karena bisa saja menurut diagnosis psikiatri saat ini beliau-beliau ini bukan sedang mendapatkan wahyu, namun malah didiagnosis terkena gangguan waham seperti kasus Lia Eden dan ajaran sesatnya yang menghebohkan Indonesia beberapa tahun lalu. Oleh karena itulah tidak seharusnya pandangan yang dikatakan objektif ini malah mengaburkan konteks dan batasan lain yang ada didalamnya.

Cara pandang model medis yang memiliki pengaruh besar pada dunia kesehatan ini, muncul akibat negatif lainnya yakni disematkannya label oleh pendiagnosis untuk para penderita gangguan kesehatan mental yang mana akibat hal ini muncullah stigma dan judgment di masyarakat mengenai suatu gangguan kesehatan mental tertentu. 

Diagnosis memang dimaksudkan agar memudahkan pasien mencari pengobatan untuk kesembuhan, namun tanpa disadari konsekuensi lainnya pun jadi mengikuti. Gangguan kesehatan mental sendiri sifatnya memang sangatlah kompleks dan karena wujudnya pun tidak terlihat (melainkan hanya melalui perilaku) mengakibatkan semakin sulitnya gangguan kesehatan mental untuk disembuhkan dan dipahami jika hanya menggunakan satu sudut pandang saja.

Masyarakat cenderung membuat konsepsi sederhana yang sama antara definisi sembuh dalam gangguan kesehatan mental dan sembuhnya dalam gangguan kesehatan secara fisik. Meskipun jika dilihat dari segi biologis keduanya memang benar bisa dikatakan sama (yakni menormalkan kembali fungsi tubuh agar berjalan sesuai fungsi awalnya), namun dalam segi lainnya ada perbedaannya.

Sederhananya ketika seseorang mengatakan sembuh dari penyakit fisiknya maka rata-rata yang akan kita bayangkan adalah seseorang tersebut telah terbebas dari virus, bakteri, parasit yang berada di dalam tubuhnya kemudian karena telah hilangnya penyebab sakit ini maka tubuh bisa normal kembali, namun dalam gangguan kesehatan mental hal ini tidak sesederhana kelihatannya. 

Ada beberapa gangguan yang memang sulit untuk disembuhkan secara total alias dihilangkan secara penuh dari sebab sakitnya karena berbagai alasan, seperti misal gangguan Skizophrenia yang sampai sekarang penyebabnya saja masih menimbulkan perdebatan, penderitanya bisa dikatakan seumur hidup akan terbelenggu dengan gangguan ini karena sampai sekarang belum ditemukan obat yang mampu menghilangkan secara total gejala-gejalanya. 

Jika kita menggunakan model medis saja untuk melihat gangguan Skizophrenia, apakah masih bisa dikatakan tepat? Karena seperti dibahas sebelumnya gangguan ini membuat penderitanya terbelenggu seumur hidup tanpa bisa diberi cap "sembuh" menggunakan pandangan model medis.

Apa akibatnya? Akibatnya adalah masyarakat tidak pernah memandang mereka-mereka ini sembuh, sudah hidup dengan stigma yang melekat seumur hidup ditambah cap tidak pernah bisa sembuh, membuat kaum individu ini menjadi minoritas yang sarat akan ketertindasan. Lalu apa yang seharusnya diubah atau direkonstruksi kembali? Tentunya adalah cara pandang kita dalam menilai sembuh tidaknya seseorang terutama mereka dengan gangguan kesehatan mental.

Dikatakan sembuh tidak berarti harus bebas sepenuhnya dari sakit yang dideritanya.

Dikatakan sembuh tidak juga berarti harus bebas dari gejala-gejala sakit yang dialaminya.

Karena seseorang sudah bisa kita katakan sembuh ketika ia mampu melakukan sebagaimana fungsi dirinya di lingkungannya, sembuh ketika seseorang mampu berkegiatan sosial, sembuh ketika seseorang mampu membawa dirinya sesuai dengan konteks disekitarnya dan dikatakan sembuh ketika dia mampu berkarya sesuai bidang keahliannya serta menjalankan tugas dirinya sebagaimana individu lain di masyarakat.

Hidup dengan gangguan kesehatan mental memang membutuhkan dukungan sosial yang luar biasa dari lingkungan sekitar untuk dapat kembali menjalani kehidupan seperti individu pada umumnya, gangguan yang dialami saja pada dasarnya sudah memberikan sumbangsih kesulitan untuk kehidupan sehari-harinya apalagi jika harus ditambahi dengan stigma tidak mengenakkan yang harus mengikuti mereka sepanjang hidupnya.

Cukup adil bukan, jika kita turut berkontribusi positif pada mereka yang mengalami keadaan tidak seberuntung kita walau hanya melalui pengubahan mindset sederhana yang sudah cukup mengakar ini. Karena sebenarnya dengan kita mulai mengubah pikiran kita akan arti kesembuhan yang ternyata beragam, kita secara tidak langsung percaya bahwa mereka tidak berbeda dengan kita, dengan atau tanpa gangguan yang dideritanya, kita tahu bahwa mereka tetaplah seorang manusia.

Diajukan untuk artikel member Excellent Writing Club - Van Deventer Maas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun