Seringkali ketika menjumpai sebuah kasus kejahatan kriminal yang melibatkan anak berlalu lalang di media massa, pernahkah kita berpikir apa yang akan dilakukan oleh aparat penegak untuk menegakkan hukum tersebut pada anak-anak? Tentunya mereka tidak akan dilepaskan begitu saja kan? Hanya karena dianggap "Ah masih anak-anak, kok, "Mereka belum bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar."Â
Anak-anak sebagai pelaku tindak kejahatan kriminal tidak bisa dikatakan bahwa mereka sedang khilaf saat melakukan perbuatannya. Sistem peradilan hukum kita sudah mengatur dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Selayang pandang pada sistem peradilan anak, bahwasannya anak-anak yang terlibat dalam kasus kejahatan kriminal ini memiliki cara tersendiri yang sudah diatur sedemikian rupa sebagai sistem koreksi atas perilaku menyimpang mereka.Â
Mereka ini diberi julukan ABH atau Anak-anak yang Berhadapan dengan Hukum yang berarti anak-anak (di bawah usia 18 tahun) harus masuk ke tempat rehabilitasi pemasyarakatan apabila berstatus hukum sebagai pelaku kejahatan kriminal di usia sangat muda.Â
Menurut sumber salah satu UPT di Surabaya, yang menangani kasus ABH ini, umumnya kasus-kasus anak yang ditangani dan ditemui adalah mayoritas mengenai penyalahgunaan Narkoba dan zat adiktif lainnya, pencurian, tindak kekerasan. Dan sebagian kecil lainnya adalah pencabulan dan pemerkosaan, serta pembunuhan.
Pengalaman pertama kali mewawancarai ABH merupakan pengalaman yang sangat tak terlupakan, karena selaku pewawancara, penulis pun belajar mencoba untuk memasuki perspektif seorang ABH, yang pastinya memiliki label negatif di lingkungan serta melihat kehidupan seorang ABH melalui cerita hidupnya sebelum masuk ke tempat rehabilitasi.
Dari banyak cerita teman-teman lain yang juga melakukan wawancara serempak saat itu, ada salah satu faktor pendorong yang menurut penulis cukup signifikan dan ditemukan di hampir semua kasus kejahatan yang melibatkan anak, yakni besarnya pengaruh teman dan kelompok pertemanannya.
Hal ini turut diperkuat dengan cerita salah satu ABH yang langsung penulis wawancarai sendiri, kasusnya terkait dengan penyalahgunaan narkoba.
Sebut dengan nama IO, IO adalah seorang anak yang berusia 13 tahun dan telah menjadi pengguna narkoba sejak kelas 5 SD yang artinya dia sudah bertahun-tahun menjadi pengkonsumsi rutin barang haram tersebut.
Ketika ditanya bagaimana dia bisa mengenal hal-hal seperti itu padahal usianya masih sangat muda, dia berkata bahwa dia diajak teman-teman di komunitas musik jalananannya.
Teman-temannya ini diperkenalkan kepadanya oleh kakak IO sendiri yang merupakan orang yang lebih tua darinya di lingkup keluarga.
IO sebenarnya sangat berpotensi dalam bermusik yang ditularkan oleh kakak laki-lakinya. Ia sangat terampil memainkan dawai gitar ketika penulis memintanya untuk melakukan performance secara langsung.
Namun sayang masa depannya harus berhenti untuk sementara karena dia harus menjalani proses rehab selama beberapa waktu.
Kasusnya menjadi sangat rumit untuk diselesaikan ketika IO sendiri tidak merasa ada yang salah dari circle pertemanannya.
Masalahnya cukup sulit untuk diselesaikan karena ada banyak faktor yang membuat IO masih tidak mau lepas sepenuhnya dari pertemanannya meski nanti dia sudah keluar dari rehabilitasi.
Hal ini tentu akan menjadi salah satu faktor penentu besar akan keberhasilan sistem koreksi yang sudah dijalaninya beberapa bulan di UPT.
Pengaruh pertemanan memang begitu kuat, terutama untuk mereka yang sedang mencari jatidirinya seperti IO.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
IO berkata bahwa dia tidak mendapatkan pengalaman dan sensasi yang dicarinya di rumah maupun di lingkungan tempat tinggalnya, seperti yang dia dapat melalui pertemanannya di luar.
Dalam jurnal penelitian Jessor (1991) dijelaskan bahwa, "pengaruh teman dan kelompok pertemanannya" ini termasuk ke dalam salah satu dari dua faktor risiko (risk factor)Â remaja, dan bersumber dari persepsi remaja akan lingkungannya (perceived environment), satu lainnya adalah adanya contoh atau model yang ditiru oleh remaja.
Jessor (1991) sendiri mendefinisikan perilaku bermasalah (problem behavior)Â sebagai suatu jenis perilaku yang secara sosial dikatakan "masalah", menjadi sumber perhatian dan tidak bisa diterima secara sah oleh masyarakat.
Perilaku ini biasanya muncul sebagai bentuk respon atas suatu kontrol sosial, meskipun kadang ditunjukkan seminimal mungkin, seperti pernyataan akan ketidaksetujuan atau ada juga yang ditunjukkan secara ekstrem seperti mogok.Â
Jessor juga mendefinisikan bahwa setiap remaja pasti memiliki faktor risiko untuk melakukan perilaku berisiko dalam dirinya.
Dalam akar teori perilaku bermasalah (problem behavior) milik Jessor ini semua perilaku manusia muncul dari interaksi antara manusia dan lingkungannya (merujuk pada perspektif social-science Lewin).Â
Melihat suatu perilaku bermasalah remaja memang tidak bisa dipandang se sederhana kelihatannya, Jessor memandang perilaku bermasalah remaja seperti merokok, drug abuse,dll. bukan sebagai suatu perilaku yang tak berarti dan tidak stabil, melainkan sebagai perilaku yang memiliki tujuan, arti tertentu dan fungsional.Â
Karena menurut teori perilaku bermasalah, faktor risiko yang dimiliki setiap remaja yang kemudian mendorong mereka melakukan perilaku berisiko tidak hanya ditilik karena memiliki konsekuensi biomedis saja.
Sebagai contoh sederhana, menggunakan Marijuana tentu dilihat beresiko oleh masyarakat, karena bisa meningkatkan risiko kanker paru-paru di kemudian hari.
Namun di balik penggunaan Marijuana biasanya remaja akan menimbang-nimbang konsekuensi sosial yang didapatkannya dari lingkungannya.
Misal, dia jadi merasa lebih diterima oleh peers nya atau dia jadi merasa mendapatkan suatu "pengakuan dan harga diri" dari orang-orang yang lebih tua disekitarnya.
Jadi, teori ini menekankan pada outcome dan konsekuensi sosial yang di hadapi remaja ketika dia memilih melakukan perilaku tersebut.
Kita sebagai seorang dewasa terkadang "terlalu" memandang semua masalah kenakalan remaja menjadi sangat simple, seperti ketika Anda membaca kisah tentang IO, yang penulis wawancarai, akan ada kemungkinan di luar sana yang berpendapat masalah IO bisa enyah begitu saja jika dia lepas dari circle nya.
Namun jika kita mengembalikannya pada akar masalah mengapa IO bisa mencari circle di luar keluarganya, mungkin kita jadi tidak menyepelekan masalahnya.
Selain itu mungkin juga ada orang-orang ada yang melihat perilaku IO sebagai suatu perilaku "tidak berarti" yang hanya bisanya merusak dirinya sendiri. Ya, itu memang benar, dan penulis cukup setuju hanya saja merujuk pernyataan Jessor dalam jurnalnya. Perilaku IO pun sebenarnya bertujuan dan memiliki makna tertentu jika melihat konsekuensi sosial yang IO dapatkan (meskipun ini tidak bisa dijadikan dasar pembenar kenakalan remaja).
Namun dengan kita melihat konsekuensi sosial yang remaja itu harapkan atau dapatkan, kemungkinan besar rehabilitasi dan sistem koreksi hukum yang berlaku bisa lebih diarahkan ke sana, agar lebih efektif dan berjangka panjang dibanding hanya memberikan konsekuensi hukuman yang tujuannya untuk "memutus perilaku sesaat" saja.
Sistem koreksi yang bisa diusahakan bisa memanfaatkan faktor protektif yang bisa dilatihkan untuk si remaja seperti misal melatih kontrol diri untuk mengendalikan ketika si remaja hendak terlibat dalam perilaku beresiko, membuat model perilaku baik selama di rehabilitasi, membangkitkan nilai-nilai positif seperti mengejar suatu prestasi dst, membangkitkan intoleransi akan penyimpangan.
Atau, jika memang "bisa", faktor protektif yang dimiliki oleh lingkungan sosial juga bisa dilibatkan sebagai, misal, melibatkan keluarga (dengan memperkuat kohesivitas keluarga), memberikan pemahaman untuk tidak mentoleransi penyimpangan pada masyarakat sekitar, dst.
Bagaimana dengan pencegahan untuk anak-anak dan remaja yang "pasti" memiliki faktor risiko yang di katakan oleh Jessor namun belum melakukan kenakalan itu?
Kembali pada faktor protektif yang bisa dimaksimalkan: Keluarga dan lingkungan memiliki peran sentral bagi si anak.
Jika sebagai significant other kita bisa memberikan hal ini, maka sebaiknya silakan dibangun.
Namun jangan lupa, bahwa faktor protektif dalam diri juga sangat penting peranannya melalui penanaman nilai dan moral anak sejak kecil secara benar dan tanpa pemaksaan.
***
DAFTAR PUSTAKA:
Jessor, R. (1991). Risk Behavior in Adolescence: A Psychosocial Framework for Understanding and Action. Journal of Adolescent Health , 597-605.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H