Generasi muda dan teknologi. Adalah dua hal yang seolah tak dapat dipisahkan ketika kita hendak membahas salah satunya. Dikenal dengan sebutan generasi melek teknologi (Digital Native), yang berarti generasi ini tidak pernah tidak merasakan dunia tanpa teknologi. Akibatnya ada banyak hal yang berbeda dari zaman ke zaman.
Salah satunya adalah "evolusi" tindakan bullyingyang kini biasa dilakukan lewat dunia maya. Dalam beberapa dekade terakhir, cyberbullying menjadi isu yang cukup sering menjadi headlinedalam berbagai berita nasional/internasional. Bullyingmenjadi semakin mudah dilakukan karena adanya perantara teknologi dan media sosial yang bebas. Cyberbullyingmenjadi isu yang lebih kompleks dibandingkan bullyingtradisional, ini didasari karena keterlibatan kecanggihan teknologi dan kecepatan informasi menyebabkan dampaknya menjadi sangat masif dan luas.
Tentu kita tidak melupakan kematian tragis Amanda Todd, seorang remaja dari kota Vancouver, AS, yang sempat membuat isu cyberbullying mendapat sorotan dunia. Amanda yang berusia 15 tahun mengalami bully di  sekolahnya dan didunia maya selama beberapa tahun. Amanda sempat  mengupload video mengenai kisahnya ini di youtube  dengan judul "My Story : Struggling, Bullying, Suicide, Self-harm" sebelum dia akhirnya memutuskan untuk bunuh diri gadis malang itu  sempat menderita depresi, kecemasan parah, gangguan panik hingga self-harming selama kurang lebih 2 tahun. Karena bullying yang secara konstan  diterimanya, Amanda bercerita betapa dia membenci dirinya sendiri atas  sifat naif nya di masalalu. Namun dibalik kisah Amanda Todd yang sangat  tragis dan menyentuh ini sebenarnya masih banyak kisah cyberbullying lain yang kurang diekspos di luar sana dan sangat renta membuat korban mengalami hal yang sama seperti Amanda.
Cyberbullying didefinisikan sebagai penggunaan teknologi untuk mengganggu, mengancam, mempermalukan atau mentarget orang lain. Biasanya melibatkan komunikasi sistematik dalam waktu tertentu. Memiliki karakteristik sama persis dengan bullyingtradisional yakni berulang, memiliki kekuatan & ditujukan untuk menyakiti orang lain. Cyberbullyingjuga menguntungkan pelaku karena adanya anonimitas, kemudian sekali mengunggah sesuatu bisa cepat tersebar dan sulit dihapus (Chadwick, 2014).
Sebuah survey tahunan internasional cyberbullying pada tahun 2017 yang dikeluarkan oleh The Ditch Label, sebuah organisasi non-profit di Inggris yang memperjuangkan isu cyberbullying,hasilnya dari 10.000 responden remaja mengatakan sebanyak 17% pernah mengalami pem-bullyan di dunia maya. Dengan rincian terbesar yakni 68% pernah dikirimi pesan jahat, 41% pernah dirumorkan sesuatu kemudian disebarkan secara online, 39% pernah di komentari jahat diprofilenya, dan sisanya berkata pernah difoto/divideo tanpa sepengetahuannya, pernah dibuatkan akun palsu atas nama diri seseorang.
Laporan lainnya dari survey ini sebanyak 69% responden mengaku PERNAH melakukan tindakan menyakiti orang lain secara online. Dengan rincian sebanyak 35% pernah mengirim status/foto seseorang untuk ditertawakan di pesan grup, 17% pernah membagikan/menyukai sesuatu secara online yang secara terang-terangan mengejek seseorang, sisanya mengaku mengirim pesan jahat baik secara pribadi maupun publik pada seseorang yang sudah dikenal secara offline maupun yang tidak dikenal (youtuber atau artis). Â Hasil survey ini berbicara betapa mengerikan dan mudahnya cyberbully dilakukan, karena banyaknya orang yang melaporkan pernah menjadi pelaku bully di dunia maya.
Meskipun dikatakan permasalahan ini sangat kompleks untuk diselesaikan namun bukan berarti tidak ada upaya yang dapat diusahakan untuk meminimalisasi dampak negatif cyberbullyingbagi korban. Dalam perilaku bullying sendiri dikenal ada aktor ketiga setelah pelaku dan korban, yakni kelompok yang tidak melakukan apa-apa, yang disebut sebagai kelompok bystander. Bystander Effectmenurut Latane & Darley (1968) (dalam Hogg & Vaughan, 2011) dijelaskan sebagai suatu keadaan dimana seseorang cenderung menolak untuk menolong, karena mengira/memiliki ekspektasi orang lain akan memberikan bantuannya.
Ada banyak alasan yang mendasari mengapa mereka menjadi bystanderdalam konteks bullyingyakni, adanya anggapan bahwa itu bukan urusannya, mencari posisi aman karena takut ter-bully, pengalaman pernah mengadukan pada guru namun tidak ditanggapi, dst.
Pertanyaannya, "apakah menjadi peer bystander selamanya tidak baik?"
Sebenarnya Peer Bystandermemiliki kedilemaan yang luar biasa, ada beberapa orang yang ingin membantu namun takut melibatkan dirinya dalam masalah. Peer Bystanderdalam bullying secara umum bisa menjadi aktor yang menghancurkan namun juga bisa membawa perubahan positif.
Peer bystandermemberi dampak psikologis negatif ketika dia hanya diam dan melihat temannya di bully.Ketidakpeduliannya ini akan mengarahkan korban menciptakan ide yang salah dikepalanya, dimana menganggap dirinya memang pantas diperlakukan tidak adil karena tidak ada seseorang yang membelanya. Sementara Peer Bystanderyang membawa dampak positif dijelaskan melalui penelitian dari Werner & Smith (1992) (dalam Patchin & Hinduja, 2012) selama beberapa dekade mengenai resiliensi, melaporkan remaja yang memiliki hubungan yang positif dengan orang disekitarnya dapat tumbuh menjadi lebih kuat, lebih sanggup menghadapi sesuatu dan mampu menjadi orang dewasa yang bahagia.Â