Anak panggung Wayang Orang Bharata gelar karya istimewa Salya Wiratama di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 4-5 Desember ini. Digagas dan dirancang para seniman Bharata sendiri, pergelaran megah ini dapat dinikmati gratis berkat dukungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemda DKI Jakarta.
Salya Wiratama lahir dari dahaga akan pembuktian diri. Setelah sekian lama unjuk bakat dan kemampuan di berbagai pementasan berskala nasional dan bahkan dunia, para anak panggung Wayang Orang (WO) Bharata tertantang membuktikan bahwa dengan berbagai keterbatasan yang mereka hadapi, mereka lebih dari mampu untuk menggubah dan menggelar suatu karya dengan nilai artistik dan daya tarik yang dapat membius penikmat budaya Jakarta yang kritis, dinamis dan datang dari berbagai latar belakang.
Sebagian keinginan ini datang dari rasa tanggung jawab akan nasib wayang orang klasik, dengan segala keunikan dan kekhasan yang menjadikannya indah dan puitis. Berguru di sayap panggung dan digembleng langsung di hadapan penonton, para seniman yang bernaung di paguyuban yang telah 40 tahun berkiprah di Jakarta ini menyadari bahwa sebagai pewaris kesenian ini tugas mereka tidaklah mudah. Sementara minat penonton, terutama generasi muda, untuk menonton wayang orang kian surut di tanah kelahirannya, apa yang harus dilakukan agar pergelaran seni tradisional tetap diminati di Jakarta dengan seleranya yang urban, variatif, dan sangat dipengaruhi trend?
Kuncinya ternyata adalah adaptasi dan reinterpretasi. Salya Wiratama menurut sutradara Teguh “Kenthus” Ampiranto adalah bukti kemampuan wayang orang untuk merangkul unsur-unsur budaya lain. Alunan gending pengiring yang ditata Kadar Soemarsono dan Lukas Danasworo meminjam nuansa-nuansa gamelan Bali yang rancak dan diwarnai paduan suara modern. “Bahkan ada iringan sepuluh pemain biola,” Teguh menambahkan. “Yang penting di sini unsur-unsur tambahan ini yang menopang wayang orang klasiknya. Jadi bukan wayang orang klasiknya yang berubah, tapi unsur-unsur lain itu yang diserap ke dalam wayang orang, sehingga terangkat dan jadi lebih indah.”
Di sisi lain, Teguh juga berusaha menafsirkan kembali kisah dan tokoh wayang yang dihadirkan dalam lakon perjalanan hidup sang senopati Kurawa. Misalnya saja dalam penggambaran Dewi Setyawati, permaisuri Prabu Salya, tokoh sentral cerita. Para seniman wayang orang senior dahulu seringkali menggambarkan Dewi Setyawati sebagai perempuan yang manja dan tidak rela melepas suaminya maju ke medan perang Kurusetra. “Padahal Dewi Setyawati putri seorang begawan, permaisuri seorang raja, bukan perempuan sembarangan. Rasanya kurang masuk akal kalau seorang ratu kolokan seperti itu sampai memaksa suaminya untuk tidak pergi ke medan perang,” ujar Teguh.
Untuk Salya Wiratama Teguh menampilkan Dewi Setyawati yang lain. “Dia perempuan yang tegar. Bukan hanya dia melepas Prabu Salya dengan ikhlas, dia juga mempersiapkan semuanya untuk keberangkatan sang suami ke medan perang, misalnya dengan mengadakan upacara pensucian.” Wayang orang, menurut Teguh, membuka diri terhadap penafsiran dan perlakuan baru, “Tanpa perlu mencerabut pakem wayang orang itu sendiri dari akarnya.”
Contoh lain reinterpretasi ini adalah adegan Nakula dan Sadewa yang menyusup ke perkemahan Kurawa menemui Prabu Salya, yang adalah paman mereka, untuk memastikan kabar bahwa sang raja telah ditunjuk menjadi panglima di pihak Kurawa setelah gugurnya Adipati Karna. Dulu, menurut Teguh, kedua ksatria kembar ini kerap digambarkan datang karena menuruti perintah Prabu Kresna. Teguh mencoba menawarkan interpretasi alternatif, yaitu bahwa Nakula dan Sadewa datang menemui Prabu Salya atas inisiatif sendiri. "Mereka kan Pandawa Lima juga, pangeran seperti Arjuna. Mana mungkin mereka disuruh-suruh Prabu Kresna seperti anak kecil," katanya.
Dukungan terhadap pergelaran Salya Wiratama yang digagas dan digodok murni oleh para anak panggung WO Bharata sendiri datang dari kalangan pekerja seni panggung tradisional. Hadir sebagai bintang tamu dalam pergelaran ini adalah Ali Marsudi dari kelompok wayang orang RRI Solo; Nanang Hape yang terkenal dengan upayanya membawa kisah-kisah wayang ke ranah publik dengan cara-cara yang lebih bersahabat dengan generasi muda, dan Wasi Bantolo yang telah menggubah banyak komposisi sendratari berbasis tari tradisional.
Dukungan yang kuat juga datang dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Berkat sokongan penuh Disparbud, Salya Wiratama dapat tampil di gedung pertunjukan megah Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki yang sebelumnya pernah menjadi tuan rumah pergelaran-pergelaran terkenal seperti musikal Laskar Pelangi dan Onrop. Ini merupakan momen bersejarah bagi WO Bharata, sebagai kelompok seniman wayang orang profesional pertama yang menghadirkan pergelaran wayang orang klasik di gedung tersebut. Di sisi lain, para penonton dimanjakan dengan kesempatan menonton pergelaran istimewa ini tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun.
“Dinas Pariwisata dan Kebudayaan telah membina WO Bharata selama ini,” tutur Teguh. “Suatu kebanggaan bagi kami untuk dapat menunjukkan bahwa kami tidak seperti benalu yang hanya bisa mengambil tanpa bisa memberikan sesuatu.”
Di sisi lain, fasilitas gedung pertunjukan yang relatif baru dengan kapasitas hingga 1200 tempat duduk ini juga memberikan tantangan baru bagi tim produksi Salya Wiratama. Koreografi awal lakon ini yang pertama kali disuguhkan pada November 2010 di Gedung Kesenian Jakarta, kini harus disesuaikan dengan skala panggung Teater Jakarta yang lebih besar dengan tata cahaya dan akustik berbeda. “Koreografinya banyak berubah,” tutur Nanang Ruswandi, penata tari Salya Wiratama. “Penari yang terlibat juga bertambah.”
Salya Wiratama, singkatnya, memang berbenih dari sebuah mimpi, sebuah keinginan, sebuah harapan. Tapi pergelaran yang ditampilkan 4-5 Desember di Teater Jakarta ini bukan lagi sekadar bunga tidur. Bisa dikatakan WO Bharata telah terjaga, bangun, bangkit dan menjalani mimpi yang kini terwujud. Dengan Salya Wiratama para anak panggung WO Bharata membuktikan bahwa mereka tidak hanya mumpuni membawakan peran tapi juga mengemas dan menyuguhkan pergelaran yang dapat memukau penikmat dan pemerhati seni ibukota. Tapi lebih dari itu, melalui pergelaran ini, mereka juga menegaskan bahwa wayang orang tetap layak dan harus selalu punya tempat di pentas dan hati masyarakat Jakarta.Saat ini WO Bharata menyuguhkan pergelaran wayang orang klasik setiap Sabtu malam di Gedung Bharata Purwa di Jl. Kalilio No. 15, Senen, Jakarta Pusat.
Informasi lain mengenai Wayang Orang Bharata
Facebook: http://www.facebook.com/wobharata
Twitter: http://www.twitter.com/wobharata
Email: wobharata@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H