Mohon tunggu...
Novi Indriani
Novi Indriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - berasal dari tanah, dan akan kembali ke tanah

bukan siapa-siapa, cuma penyuka kucing yang suka nulis. follow aja instagram @novi.indrian_

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Kita Benar-benar Mempercayai Tuhan?

19 Mei 2022   00:18 Diperbarui: 19 Mei 2022   00:24 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: bimbinganislam.com

Apakah Kita Benar-benar Mempercayai Tuhan?

Aku bukan tipikal orang yang hobi memantau cerita orang-orang di WhatsApp, I don't know why, I'm not really interested, paling lihat beberapa story saja di antara banyaknya story.

One day, ngeliat salah satu story yang lewat di WhatsApp, tentang kehilangan uangnya di celengan, yang seharusnya memang rapat dan tidak bisa diambil uang di dalamnya kecuali kita bongkar. Ketika dibongkar, ternyata banyak isi uang celengan tersebut yang raib, hilang, hanya sisa beberapa lembar, padahal jelas-jelas, ia rutin memasukkan uang ke celengan tersebut, entah kemana hilangnya. Dugaannya, uang tersebut raib dicuri mahluk halus (yang diduga tuyul).

Melihat story yang hanya lewat beberapa detik itu, aku termenung, aku juga orang yang masih melakukan itu, menyimpan uang secara manual juga, entahlah, meskipun sudah menabung di bank, reksadana, atau lainnya yang sudah dianggap cukup modern, tetapi aku masih belum bisa meninggalkan kebiasaan menabung secara manual, yap, menggunakan celengan. 'cause I think there is something special with "menabung manual/celengan", karena aku tidak tahu berapa nominal yang ada di dalamnya, ketika bongkar celengan, it feels like surprise LOL 'cause we don't know how much money there ... Beda dengan tabungan di bank atau reksa tadi, kan bisa kapanpun dilihat di HP hehe. Ini personal opinion yak, jadi alasan suka nabung 'celengan' ya gitu.

Balik lagi ke cerita awal, karena melihat story lewat tersebut, manusiawi, aku tertular 'khawatir' juga. Di pikiranku kemudian lewat pertanyaan-pertanyaan.

"Bagaimana jika celenganku juga begitu?"

"Bagaimana kalau uangku nanti hilang juga karena tuyul?"

"Apa kubongkar sekarang aja ya celengannya, biar nggak diambil tuyul?"

Dan masih banyak pertanyaan muncul di kepala karena hal tersebut, ada kekhawatiran sendiri uang itu akan raib dibawa lari tuyul karena jumlah di dalamnya cukup lumayan untuk orang sepertiku.

Seperti hari-hari lainnya bagiku, aku memang sering bertelepon dengan ibu melalui WA selama berada di tanah rantau, malam itu, tentu seperti biasa, ngobrol dengan ibu dengan topik recehan dengan pembicaraan kesana dan kemari.

Kemudian, tiba-tiba aku teringat perihal celengan dan tuyul tersebut, tanpa basa-basi, akupun menanyakan pendapat Ibuk, bagaimana pendapatnya mengenai hal tersebut, apakah celengan dipertahankan saja, atau kubongkar karena perihal khawatir hilang. Aku mengatakan ke Ibuk, bahwa setiap kali memasukkan uang selalu kuusahakan mengucap basmalah, tetapi aku tak menjamin bahwa setiap lembar yang kumasukkan, pasti 'selalu' dan tanpa lupa sekalipun mengucap basmalah, itu yang tak kujamin.

Dan bagaimana jawaban Ibuk?

"Yakinmu bagaimana? Begini, coba kamu ingat-ingat lagi, apapun yang ada di dunia ini, milik siapa? Contoh lah uang yang ada di celenganmu, itu rezeki dari Allaah yang berwujud materi. Kamu sudah ikhtiar dan berusaha menjaga rezeki tersebut. Tetapi, urusan selebihnya, apakah itu akan diambil tuyul atau tidak, itu di luar kuasamu, itu di luar kendalimu, itu mahluk ghoib, jadi, hal yang ada di luar kendalimu, ya bisanya kamu serahkan ke Allaah. Allaah yang punya Kuasa terkait hal tersebut, jika kok, (na'udzubillah) misal kejadian hilang itu uang karena mahluk ghaib, ya berarti memang kuasa Allaah begitu, berarti belum rezeki buatmu, dan Allaah akan gantikan dengan rezeki yang lain,"

Kurang lebih, begitulah inti dari jawaban yang kuterima dari Ibuk. Mendengar jawaban tersebut, entah kenapa seperti ada sesuatu dalam diriku yang tertampar. 

Selama ini, kita dengan entengnya berkata bahwa "aku meyakini Tuhan," seperti halnya Rukun Iman yang selalu kita baca dan hapal semenjak kanak-kanak, selalu menjadi soal ujian dan menjadi materi dalam pengajian. Tetapi apakah yang selalu dengan enteng kita ucapkan benar-benar terpraktikkan dengan baik?

Memang seringkali, yakin di 'ucapan', tetapi untuk meneruskan hingga 'yakin' di hati, dengan keyakinan terdalam, ternyata sering lalai dalam mempraktikkannya. Mungkin terjadi dalam diriku sendiri saat itu, yang mengkhawatirkan rezeki yang padahal sudah jelas dijamin Allaah, ada Kuasa Tertinggi yang tentu lebih tinggi dari tuyul atau mahluk ghaib lain yang kukhawatirkan mencuri uang yang kuisi tiap mendapatkan lembar kertas yang agak bagus tersebut.

'Yakin' di ucapan mudah, tetapi 'yakin' di praktik, memang tak semudah 'yakin' di ucapan tadi, dan dari percakapan receh melalui telepon WA bersama Ibuk itu, aku merasa 'diingatkan', hal sederhana yang mungkin jadi pelajaran. Dan bagiku, entah sekecil apa, setiap pelajaran adalah sesuatu yang berharga.

 https://www.instagram.com/novi.indrian_/ 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun