Mohon tunggu...
Novi GabriellaHaria
Novi GabriellaHaria Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Sosiologi Fisip UMRAH 2020

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Isu Gender: Konstruksi Perempuan dalam Film 3 Srikandi

31 Desember 2021   14:19 Diperbarui: 31 Desember 2021   17:13 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Gender adalah karakteristik yang membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan biologis dan tidak bersifat kodrati, melainkan berdasarkan kebiasaan atau karakteristik sosial budaya masyarakat yang membentuknya. Pemaknaan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat ditentukan oleh factor sosial dan budaya.

Film 3 Srikandi berlatar tahun 1988, pada masa itu, para orangtua masih banyak yang bersifat konservatif dan menganggap bahwa anak perempuan lebih baik melanjutkan sekolah dan bekerja menjadi seorang pegawai atau memiliki pekerjaan tetap yang bisa menjamin kehidupannya di masa depan. Berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda dan juga daerah yang berbeda. Yana, Lilies dan Suma memiliki tekad yang kuat untuk memperjuangkan impian mereka agar bisa tercapai. Mereka rela untuk meninggalkan keluarganya demi meraih mimpi mereka masing-masing, yaitu menjadi seorang atlet panahan.

Yana memberanikan diri untuk tetap mengikuti latihan agar lolos masuk ke Olimpiade walaupun bapaknya sangat melarangnya. Menurut bapaknya, menjadi seorang atlet hanya dapat membanggakan negara, menjadi berarti buat orang lain tetapi tidak untuk keluarganya. Begitu juga dengan keluarga Suma, bapaknya lebih menginginkan anak perempuan pertamanya menjadi PNS daripada menjadi seorang atlet. Menurut bapak Suma, hidup akan lebih terjamin jika Suma menjadi PNS. Lilies yang di dukung oleh orang tua untuk menjadi atlet namun menentang hubungan Lilies dengan kekasihnya yang berprofesi sebagai atlet. Ibunya ingin menjodohkan Lilies dengan seorang pengusaha, namun Lilies mempertahankan hubungannya dengan kekasihnya dan juga tetap berusaha untuk meneruskan perjuangannya menjadi seorang atlet.

Setelah terpilih untuk mengikuti pelatnas persiapan Olimpiade, Yana, Lilies dan Suma di latih oleh pelatih bernama Donald Pandiangan yang merupakan mantan seorang atlet panahan juga. Di masa-masa pelatnas ini, kekuatan perempuan banyak dimunculkan. Ketiga perempuan tangguh ini atau dijuluki sebagai 3 Srikandi dilatih setiap hari, mulai dari latihan mental dan juga fisik. Mereka berlatih disegala kondisi, banyak rintangan yang harus mereka lalui. Sampai akhirnya mereka berangkat ke Seoul untuk mengikuti Olimpiade dan berhasil meraih medali untuk Indonesia. Perasaan haru dan bangga saat mereka berhasil meraih mimpinya. Keluarga Yana, Lilies dan Suma pun ikut merasa bahagia dan bangga, bapak Yana dan Lilies juga sudah menerima bahwa anak perempuannya adalah seorang atlet panahan.

Di dalam film 3 Srikandi, karakter ketiga perempuan yang menjadi tokoh utama menggambarkan konstruksi feminitas yang dilihat dari perilaku dan aktivitas yang mereka lakukan. Sedangkan jika dilihat dari segi ruang gerak, perempuan telah memperoleh kesempatan yang sama untuk tidak terkurung dalam patriarki dan dapat menguatkan sisi feminisme. Film 3 Srikandi mengkonstruksikan pandangan yang telah melekat ditengah masyarakat mengenai budaya dan pemahaman feminisme. Film ini mematahkan stereotyope yang terlihat alamiah terjadi di masyarakat dan kemudian dimunculkan kembali sytreotype yang baru bahwa perempuan bisa mencapai cita-cita sesuai skill bukan dibatasi oleh gender.

Representasi femenisme dalam Film 3 Srikandi menggambarkan sisi-sisi kuat dari perempuan bahwa setiap perempuan memiliki kendali untuk dirinya sendiri Ketiga tokoh utama dalam film ini, yaitu Yana, Lilies dan Suma digambarkan sebagai perempuan-perempuan yang independen, kuat dan menggugat stereotype feminitas dengan berlaku sebagai sosok perempuan yang berani dan tidak pantang menyerah.

Di sini dapat dipetik pelajaran berharga, perjuangan yang mereka lakukan tidak sia-sia. Perjuangan diperlukan untuk membuktikan, apakah seseorang mampu melewatinya. Perjuangan ini mematahkan bahwa hanya laki-laki yang bisa menjadi pejuang atlet perumpuan juga bisa karena setiap orang mempunyai kelebihan dan kemampuan masing-masing. Mereka akhirnya berhasil menjadi juara mewakili Indonesia di ajang memanah tim putri. Menunjukan bahwa perempuan mampu melakukan apa yang dilakukan kaum laki-laki, dan pilihan hidup mereka jalani berhasil membawa mereka ke suksesan. Dengan kemandirian, keoptimisan, kesungguhan dan semangat mereka dalam mengalahkan tim lawan membuat mereka berhasil mengkonstruksikan identitas dalam bentuk identitas pribadi. Dimana identitas itu didasari pada keunikan karakter pribadi seseorang. Seperti kemampuan, bakat dan pilihan yang mereka punya. Kegigihan dan semangat muda untuk mengharumkan bangsa Indonesia serta memajukan perolahragaan memanah di Indonesia menjadi pembeda antara diri kita dengan orang lain. Ini menunjukkan kaum perempuan Indonesia yang pada era ini telah banyak yang sudah mulai menunjukan kemampuan dirinya di muka publik dan mampu bersaing dengan kaum laki-laki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun