Berbicara mengenai pernikahan. Tidak lepas pula membahas batasan usia, batasan usia untuk melangsungkan [U1] pernikahan merupakan suatu hal yang penting. Dalam melangsungkan pernikahan tentunya banyak hal yang harus dipersiapkan, mulai dari mental atau psikologis, kedewasaan fisik, ekonomi, maupun pengetahuan dan pengalaman hidup dalam berumah tangga.
Peran dan kehadiran negara sangat dibutuhkan, untuk mencegah resiko maupun kegagalan di berbagai sektor dan dpat menghasilkan generasi yang tangguh dan berkualitas kedepannya. Pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP), telah mengatur batas minimum usia perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan wanita 16 tahun. Akan tetapi, jika ingin melangsungkan perkawinan namun usia calon mempelai kurang dari batas usia yang telah ditetapkan pada Pasal 7 ayat (1), maka kedua calon mempelai harus mengajukan dispensasi perkawinan ke pengadilan sebagaimana telah tertuang di dalam Pasal 7 ayat (2) UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Realitanya Perempuan yang dinikahkan yang belum menginjak usia 16 tahun akan sukar  menyenyam pendidikan hingga lulus sekolah menengan atas (SMA). Sedangkan Putusan MK yang menyatakan batas usia perkawinan 16 tahun pun  bertentangan dengan UUD 1945 yang mana akan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menuntaskan program wajib belajar. Perbedaan batas usia ini melahirkan diskriminasi yang berpengaruh pada berbagai sektor tertama pada akses pendidikan.
Urgensi perubahan batas usia perkawinan yang termuat dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk menghapus diskriminasi, mengurangi kematian ibu dan anak, angka perceraian, hingga kekerasan seksual.
Selain itu, menikah di usia dini menjadi penyebab tingginya angka perceraian. Jika tolak ukur kematangan usia perempuan hanya sebatas baligh atau haid saja itu tidak cukup, tapi seyogyanya kita harus melihat aspek dari kemandirian, psikologis dan bagaimana anak ini dapat mengatasi masalah dengan baik.
Berbagai pihak menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi terkait batas usia perkawinan perempuan 16 tahun. Karena putusan MK ini guna menghapuskan diskriminasi batas usia perkawinam anak dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan ini merupakan langkah maju dari lembaga penjaga konstitusi tertinggi tersebut.
Putusan MK Â tersebut langsung ditindaklanjuti oleh DPR selaku dewan legislasi. Karena, dalam putusannya, MK memberikan jangka waktu selama tiga tahun bagi DPR selaku dewan legislasi untuk mengakomodir putusan itu dengan melakukan revisi Undang undang tentang Perkawinan.
UU No.16 Tahun 2019, bunyi pasal ini berubah yang semula laki laki minimal 19 tahun dan perempuan minimal 16 tahun menjadi, Perkawinan hanya dizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Berdasarkan undang-undang tersebut, pernikahan yang tak sesuai dengan aturan minimal batas usia tersebut, diharuskan meminta dispensasi kepada pengadilan disertai bukti atau dokumen pendukung yang cukup. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Dalam UU Perkawinan ini disebutkan, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, permohonan perkawinan yang telah didaftarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetap dilanjutkan prosesnya sebagaimana dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Persetujuan DPR tersebut menjadi angin segar bagi Menteri Perlindungan Perempuan dan Pemberdayaan Anak (PPPA), Yohana Yembise yang telah memperjuangkan hal ini  cukup lama untuk menaikkan batas minimal usia perkawinan. keputusan ini nantinya akan dapat menyelamatkan generasi masa depan dari perkawinan anak yang merugikan.