Aku selalu ingin memberi nama pada setiap tetes hujan yang kerap menyapa bumi. Tanpa mengenal jeda dan titik.
Menamainya dengan berbagai macam nama. Sesuai urutan setiap peristiwa yang kita lewati.
Seperti saat kita meloncat riang tak terkendali, ketika puisi-puisi milik kita menemukan sebuah bahu untuk sekedar merebahkan tiap aksaranya.
Puisiku yang deras jatuh di pangkuanmu, bak kunang-kunang yang kerlipnya berpendar ke segala penjuru.
Atau puisimu yang liar menjejakkan kakinya pada tanah lapang sehelai kertas bergambar wajahku yang berlipstik merah muda.
Seperti saat dada kita berdegub kencang mengikuti irama bunyi jangkrik yang bernyanyi, laksana medley sebuah simfoni yang mengiringi pengantin berjalan menuju altar penyucian janji suci.
Keharuan kerap muncul dengan syahdu, saat aksara-aksara yang di toreh muncul tak teratur. Terkadang ganjil, terkadang genap.
Banyak ingatan ingin kita sakralkan, tetapi dalam bentuk apa ? Jika ingatan milik kita hanya beralaskan kain bermotif kesepian dan jarak, bersulamkan beberapa ego. Dengan sedikit renda ragu.
Di antara kita, kerap mengakhiri sebuah perbincangan dengan menghadirkan gerimis. Bukan demi apapun. Hanya saja, ucapan sampai jumpa nanti, rasanya seperti sebuah gigi yang tanggal. Nyeri dan linu di dada.
Kerap aku memanggil namamu, pendek-pendek saja. Karena pada pendeknya namamu, turut serta inisial namaku di sana.
Menyebutnya dengan sangat hati-hati dan pelan, supaya namamu terucap aman di lidahku yang majal.
Menyebutnya dengan sangat sendu sekali, agar supaya rinduku melarungkan dirinya sendiri. Dan angin membuatnya bermuara di cuping telingamu.
Menyebutnya dengan halus sekali, supaya abjadnya tak terberai dari bibirku.
Kau panggil aku perempuan syair. Sementara kau tak pahami, bahwa sesungguhnya dirimulah syair-syairku.
Setiap lantunanmu, adalah kata yang mentahbiskan dirinya sendiri sebagai sebuah syair. Mereka meletakan tubuhnya dengan rapi di ujung lidahku.
Bersetubuh dengan mesra, mengandung tanpa keluh kesah hingga akhirnya lahir untaian-untaian syair yang berlari menujumu.
Tapi sebuah syair dan sebuah rindu yang tabah, ibarat dua mata angin yang berlawanan. Mereka bertolak belakang menunjukan rasanya, padamu.Tak ada ingkar terselip.
Satunya selalu mampu riang gembira, bermain di gerimisnya jarak.
Tapi rindu yang men-tabah-kan dirinya sendiri tidak lain seperti cerita Ngaben dari pulau Bali. Supaya naik ke nirwana, maka proses penyuciannya adalah dengan di kremasi.
Seperti hujan yang malam ini tak kunjung reda, airmataku mengapung kekal di lipatan doa yang ku rapal khusyuk.
Rinduku makin tumbuh subur, karena penantianku jatuh di tanah yang gembur.
Lekas! Segeralah datang. Hiburlah hatiku yang kanak-kanak ini. Bujuklah degub rindu yang liar ini.
Sudahilah tugas kelopak mataku, yang selama ini begitu setia menjaga kebun kerinduan dan tekun menyiraminya dengan hujan airmata.
Â
Bpn, 15 Mar 18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H