Perihal sukacitanya aku yang mencandumu
Yang selalu menunggumu tanpa bertanya nama-nama bulan
***
Tapi  sayangnya, pagi di hari ketigabelas bulan Maret telah melipat wajahnya.  Embun pun menggulung sendiri tubuhnya yang ringkih. Kunang-kunang  menyembunyikan pendarnya. Menginsyaratkan puisiku harus pulang lebih  cepat. Sendirian. Tanpa pasangannya lagi.
Pada rindu yang agam,  sisa gerimis semalam menyamarkan resahnya rindu tanpa balasan. Airmata  yang menderas, mengkuyupkan pundak yang tak bisa lagi menjadi kokoh  tegar.
Apakah aku harus memberitahu kamu, pasangan puisiku,  tentang tangisku semalam? Ah, itu bukan hal penting lagi bagimu.  Bukankah tangisan hanyalah bentuk ketidakmampuan hati melawan segaris  gundah.
Seperti lantunan ayat-ayat suci yang mengiringi senja,  puisi-puisi kita kini membumbung sendiri-sendiri ke angkasa. Pada  mulanya aksara yang begitu riuh, bak celoteh anak pantai yang berkulit  tembaga itu, kini bungkam seribu bahasa termakan lidah yang majal. Pun  dengan  cemburuku, yang diam-diam ku telan bulat utuh. Membuat  tenggorokanku tercekik. Rasanya bak menyimpan api dalam sekam.
Beberapa  jam lagi, hari ketigabelas di bulan Maret akan beranjak pergi. Mungkin  degup di dadamu telah surut. Degub yang dulu begitu pantang menyerah  mengenalkanku pada hujan puisi di bibirmu yang syahdu.
Bayanganku  tentang senja, dengan kamu disampingku, pupus. Karena kamu kini menjelma  bak sebuah kurung kurawa. Kaku dan penuh penegasan pada tiap sisinya. Â
Pada  hatimu yang berangkat pergi, sudah kurelakan melepas ikatan kenangan.  Membungkusnya dengan lampin seolah tak peduli. Walau masalalu denganmu  adalah keindahan yang tak terelakan, namun membiarkanmu mencari  kebahagiaan yang baru adalah kenyataan yang harus kubaca jelas.
Kebahagiaanmu adalah kenyataan yang bukan puisi.