Bau-bau. Betapa tak bisa kuhilangkan nama kota itu dalam ingatanku. Hampir 13 hari pernah kuhabiskan waktuku di kota ini. Kota yang berada provinsi Sulawesi Tenggara, kota yang terkenal dengan kuliner mete-nya. Dan juga dengan garis pantainya yang indah. Gradasinya selalu memukau netra jika di pandang dari balik kaca jendela pesawat.
Dan malam ini, setelah melewati perjalanan dua malam satu hari akhirnya aku kembali berlabuh di dermaga ini. Menggunakan Kapal Kambuna kelas ekonomi, kakiku kembali menapaki titian panjang dermaga ini. Namun bukan hanya kakiku saja yang menapaki titian dermaga ini, rupanya ingatanku pun tidak ingin ketinggalan. Dia mulai menggeliat, membangunkan kenangan yang harusnya enyah dari memoriku.
Karena sudah beberapakali mengunjungi kota ini, maka bukan hal sulit bagiku mencari tempat menginap. Namun entah mengapa, kali ini aku lebih memilih untuk duduk menikmati malam di salah satu restoran, tepatnya rumah makan, yang buka 24 jam. Rasa penat remuk sendiku akibat perjalanan jauh terasa terabaikan.
Konon,  waktu malam  hari harusnya dipergunakan untuk memperbaiki fungsi tubuh, begitulah kata orang bijak. Tapi apa peduliku, didepan mataku kadang orang hanya nampak bijak saja, padahal sesungguhnya mereka tidak lebih dari seorang bajingan dan penjahat.
 Bagiku perbuatan bijak adalah perbuatan yang tidak merepotkan orang lain, dan hidup dengan kenangan bukanlah merepotkan.
Ku nikmati beragam kuliner, tanpa memperdulikan tatapan orang di sekitarku. Dengan kulit putih yang kumiliki, tentunya sudah bisa menjadi penanda bahwa aku adalah seorang pendatang di kota ini. Ku nikmati kantopi, makanan khas daerah ini lengkap dengan menu ikan rebusnya. Menikmatinya sambil sesekali bercengkrama dengan kenangan-kenangan yang seharusnya sudah memudar. Tapi anehnya walau beberapa menu sudah kulahap habis dan jarum jam sudah menunjukkan angka yang usang kenangan itu masih saja begitu kokoh tegak berdiri, seperti tumbuhan yang selalu rutin terkena pupuk dan air.
Akhirnya rasa kantuk mulai memberondong tubuhku. Penat dan letih seakan meminta keadilannya. Aku harus tidur, batinku.
Ku selesaikan kewajibanku. Dinginnya angin laut mengecup mesra wajahku. Ku tengadahkan wajah menatap langit, yang berarak awannya. Warna langit begitu absurb. Entah mendung entah cerah.
Tujuanku mendongak karena aku sedang berusaha merupa sebentuk wajah dan sebentuk badan. Wajah yang secara logika harus kulupakan, namun hati enggan menggusirnya. Karena kami adalah sejenis.
Oil City, 24 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H