Meninggalkan Bayu sendirian di pelataran Candi Jawi yang menurut sejarah merupakan penyimpanan abu jenazah Kertanegara, Raja Singasari.
Udara sekitar candi makin dingin, namun tidak membantu mendinginkan amarah di tubuh Bayu. Jiwanya kini berkafankan kalut. Sebuah tanda tanya besar mencuat dalam pikirannya yang gamang, “Masih sucikah perasaannya Aya, untukku?” tanyanya lirih.
Disaksikan sejumlah arca dewa-dewa kepercayaan Siwa. Bayu mulai meracik keraguan pada Aya. Gontai tubuhnya meninggalkan Candi Jawi, yang mulai tenggelam dimakan waktu senja.
Satu persatu dilewatinya arca Mahakala dan Nandiswara, Durga, Ganesha, Nandi dan Brahma. “Aya, apakah kini dalam hatimu telah tercipta dua kerajaan, seperti kisah pembuatan candi ini?”
***
Adigang-Adigung-Adiguna.
Sejak pengakuan Setyo, hari-hari yang dilewati Aya laksana neraka membara. Aya yang dianggap sudah berkhianat, kerap diperlakukan semena-mena oleh Bayu. Sikap hormat dan takjubnya kini berganti rupa menjadi sikap bengis yang sadis, tanpa ampun Bayu menghujami Aya dengan gelar sebagai Dewi Uma, sosok yang dikutuk Siwa karena gagal menjalani ujian kesetiaan.
Dan Aya, dengan kesabaran yang berbalut duka lara, karena dituduh berkhianat, bersikukuh bahwa tiada apapun yang ternoda. Setianya masih terjaga utuh, walau kesempatan berkhianat pernah didapatnya secara cuma-cuma.
“Jika kamu, hendak pergi..pergilah..minggat dan menjauhlah?!” Aya terperangah, kaget, mendengar kalimat yang barusaja Bayu ucapkan. Kalimat yang sangat melukai kelembutannya mencintai Bayu.
Kedua alis Aya mengernyit menahan tangis agar tidak terlihat cengeng. Telinganya panas. Aya berdiri, membawa punggungnya untuk membelakangi Bayu. Memaksanya bergerak menjauh. Meninggalkan Bayu seorang diri di kedai kopi langganan mereka.
-Namun sepertinya Bayu tak tergerak sedikitput mengejar Aya-