Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Cermin) Merawat "Kejahatan"

16 Juli 2016   10:26 Diperbarui: 16 Juli 2016   10:42 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Waktu itu adalah garis, tetapi sangat berharga. Kamu tidak akan dapat memiliki, namun dapat memanfaatkannya. Kamu tidak bisa menyimpan, tetapi dapat menghabiskannya. Sekali kehilangan, kamu tidak akan bisa mendapatkannya kembali.”

( Harvey MacKay )

***

Menurutku, di dunia ini tak ada sesuatu apapun yang mampu bertahan jika harus berada dalam putaran waktu bernama menunggu. Bahkan bilangan-bilangan angka yang terdiri dari genap dan ganjil pun akan saling mengutuk jika mereka ditempatkan sebagai rumus matematika atau fisika namun tidak disertai dengan sebuah penyelesaian. Karena rumus tanpa penyelesaian hanya akan menghasilkan jawaban keraguan.

Pernah kudengar, bahwa sejarah yang tidak pernah selesai adalah sejarah yang mempelajari manusia. Karena manusia merupakan sejarah kejahatan yang tidak akan pernah terselesaikan, begitu pula dengan sejarah kebaikannya yang tak mungkin usai.

Dan diantara semuanya, keinginan terbesar dalam sejarah hidupku adalah mewujudkan kamu dan aku, menjadi kita.

Aku ingin menyelesaikan putaran sejarah milik kita hingga akhir, bertarung melawan hujaman-hujaman tajam puisi rindu yang tancapannya seruas belati.

Menghalau sulur-sulur kebosanan yang dahannya terkadang lebih subur dari airmata kerinduan milik kita.

***

Kisahku menunggumu, tidaklah seheroik kisah Cinta dan Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta, namun pada bilangan waktu yang kulewati, ada beribu resah mengendap dalam dada, dalam otak, dalam jantung, dalam aliran darah dan dalam segalaku.

Melahap waktu sembari menunggumu kadang membuatku berubah menjadi bak seorang anak kecil yang selalu merasa resah setiap kali melihat mainannya menjadi koyak ataupun hilang.

Sesekali laraku menggantung di udara, menyisakan pengap yang keterlaluan, yang mau tidak mau paru - paruku harus menghirupnya. Demi apa ?  Ya, demi kamu. Kamu yang saat ini hanya bisa kugambarkan sebagai garis lurus. Lurus antara aku yang di sini dan kamu yang di sana.

Lurus yang masih belum mampu menemui batasnya. Sementara, beberapakali rindu kita gurauannya makin mendekati nyinyir.

***

Seperti halnya sebuah kejahatan yang dibentuk dan diciptakan sendiri oleh manusia. Kita pun menciptakan sendiri kejahatan dalam hubungan kita. Kamu yang di sana dan aku yang di sini, melalaikan sebuah kenyataan bahwa mencintai dalam jeda waktu sesungguhnya adalah kejahatan yang tanpa ampun. Merindukan dengan menghadirkan sebuah jarak adalah sikap yang terkutuk, karena sikap ini mirip dengan sikap seorang ibu yang tega mengaborsi janinnya.

Sejatinya mencintai dan merindukan adalah hal yang harus disegerakan penyelesaiannya. Sama hukumnya dengan segera melaksanakan waktu sholat, menyelesaikan hutang piutang dan menguburkan jenazah.

Tapi inilah kita, yang bagi sebagian orang diibaratkan seperti  monster. Mahluk yang hanya dianggap aneh bagi sebagian orang. Mahluk yang tengah menata sesuatu dengan sedikit memaksakan kehendak pada orang-orang disekitar kita agar mau menerima komitmen kita. Memilih  jatuh cinta kemudian menunggu, pada bilangan-bilangan waktu yang sesekali genap, sesekali ganjil.

Ketidakmampuan beberapa orang memahami kisah kita, sama halnya dengan ketidakpahamanku tentang kita yang menyukai sepakbola namun memilih untuk menyukai club yang berbeda.

Ah tapi, biarkan sajalah ketidakpahaman ini menjadi sebuah alur kisah klasik sejarah manusia. Tentang minoritas dan mayoritas.

***

Dan karena hidup adalah pilihan, maka aku memilih untuk menjadi sosok Frodo –entah kamu-, hobbit yang rela berjuang demi sesuatu yang tidak begitu dipahaminya.

Aku berusaha memperjuanganmu, menunggui sesuatu yang tidak pernah aku ketahui akhirnya menjadi apa.

Berjuang dengan meraba-raba kepastian bersama atau berpisah.

Oil City 16-07-2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun