Sesekali laraku menggantung di udara, menyisakan pengap yang keterlaluan, yang mau tidak mau paru - paruku harus menghirupnya. Demi apa ? Â Ya, demi kamu. Kamu yang saat ini hanya bisa kugambarkan sebagai garis lurus. Lurus antara aku yang di sini dan kamu yang di sana.
Lurus yang masih belum mampu menemui batasnya. Sementara, beberapakali rindu kita gurauannya makin mendekati nyinyir.
***
Seperti halnya sebuah kejahatan yang dibentuk dan diciptakan sendiri oleh manusia. Kita pun menciptakan sendiri kejahatan dalam hubungan kita. Kamu yang di sana dan aku yang di sini, melalaikan sebuah kenyataan bahwa mencintai dalam jeda waktu sesungguhnya adalah kejahatan yang tanpa ampun. Merindukan dengan menghadirkan sebuah jarak adalah sikap yang terkutuk, karena sikap ini mirip dengan sikap seorang ibu yang tega mengaborsi janinnya.
Sejatinya mencintai dan merindukan adalah hal yang harus disegerakan penyelesaiannya. Sama hukumnya dengan segera melaksanakan waktu sholat, menyelesaikan hutang piutang dan menguburkan jenazah.
Tapi inilah kita, yang bagi sebagian orang diibaratkan seperti  monster. Mahluk yang hanya dianggap aneh bagi sebagian orang. Mahluk yang tengah menata sesuatu dengan sedikit memaksakan kehendak pada orang-orang disekitar kita agar mau menerima komitmen kita. Memilih  jatuh cinta kemudian menunggu, pada bilangan-bilangan waktu yang sesekali genap, sesekali ganjil.
Ketidakmampuan beberapa orang memahami kisah kita, sama halnya dengan ketidakpahamanku tentang kita yang menyukai sepakbola namun memilih untuk menyukai club yang berbeda.
Ah tapi, biarkan sajalah ketidakpahaman ini menjadi sebuah alur kisah klasik sejarah manusia. Tentang minoritas dan mayoritas.
***
Dan karena hidup adalah pilihan, maka aku memilih untuk menjadi sosok Frodo –entah kamu-, hobbit yang rela berjuang demi sesuatu yang tidak begitu dipahaminya.
Aku berusaha memperjuanganmu, menunggui sesuatu yang tidak pernah aku ketahui akhirnya menjadi apa.