[caption caption="Laila Majnun, Dok Pri Inem"][/caption]Kutawarkan diriku, pada kehidupan bernama kesedihan
Ketika aku tak mampu menjadi seorang martir
Yang mengemban tugasnya
Menjaga kehidupan sebuah hati berwarna merah muda
Betapa sudah kurangkai ribuan syair
Sebagai ibadahku setiap hari
Yang hanya mengumam-gumam kacau
Menyebut namamu menggunakan lidahku yang majal
Namun semua ibadah sedihku
Belumlah cukup
Untuk menanggung beban, betapa merindukanmu
Adalah siksa kerontang di musim semi
Dalam pusaran waktu yang absurb
Tak henti terus kukejar
Bayangmu yang makin meninggi
Menyatu bersama bumbungan awan
Terlalu ingin kumenemuimu,
tanpa isyarat perpisahan atau perjumpaan kembali
Apakah harus kuceritakan kembali
Tentang bagaimana aku mulai mencandu hatimu
Tidak perlu, bukan ?
Bukankah celoteh burung sriti di bumbungan rumahmu
Selalu membawa kabar berita tentang aku yang khusyuk
Membaca ayat-ayat rindu untukmu
Namun kini, aku rapuh
Tiadamu, melemaskan seluruh tulang dan sendiku
Tiadamu, mengeringkan danau ceriaku
Tiadamu, membuatku seolah berada di ruang hampa udara
Tiadamu, membuatku Majnun
Oilcity 14-03-16
Puisi ini terinspirasi dari novel berjudul “Laila Majnun” karya Nizami.
Sinopsis :
Keindahan cinta akan nampak menjadi keindahan yang sesungguhnya ketika dua orang, berhasil menyatukan rasa keduanya. Namun bagaimana jika ada sebagaian orang yang menggangap bahwa mabuk cinta adalah sesuatu yang dianggap sebuah kegilaan.
Laila dan Majnun, mereka adalah sepasang kekasih yang terlalu mabuk oleh rasa cinta mereka, dan karena keadaan yang dianggap tidak wajar, akhirnya mereka dipisahkan. Namun, berpisah dengan kekasih hati adalah siksaan yang berat, bak khianat tanpa rasa ampun. Majnun membabibuta dengan kesedihan, pun Laila. Yang demi menunjukan bakti pada orangtuanya, terpaksa menikah dengan oranglain.
Kesedihan demi kesedihan rupanya telah menjadi menggunung bak tumpukan jerami. Sulit membedakan kesedihan dan kesenangan. Semua nampak sama, duka.
Kisah Laila Majnun, bukanklah kisah yang biasa. Karena kisah ini menunjukan bahwa jiwa-jiwa yang berpisah, seumpama hantu yang gentanyangan. Mereka takakan tinggal diam sebelum bertemu kembali dengan kekasih hatinya.
Karena suatu keadaan Laila meninggal, hal ini menjadi guncangan keras bagi Majnun. Tak sedetikpun Majnun memanjakan dirinya, baginya kesenangannya sudah tiada. Baginya kehilangan Laila pertanda kiamat bagi hari-harinya.
Pada akhirnya, jiwa dan raga Majnun menyerah. Mereka meringkuk pada ajal yang dirindukannya. Hembusan nafas terahkirnya menguar tinggi, disamping nisan Laila. Perempuan pemilik semua syairnya.
Karya Ini Diikutsertakan untuk Memeriahkan HUT Perdana Rumpies The Club
[caption caption="The Rumpies Logo"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H