Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Batu yang Tidak Berkelamin

28 Desember 2015   16:03 Diperbarui: 28 Desember 2015   16:56 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, yang berwujud sebagai sebongkah batu sebesar kepal tangan manusia. Si Batu kerap iri pada sejarah hidup manusia.
Manusia yang jika dirunut silsilahnya maka akan ditemukan istilah nenek, kakek, ayah, ibu, kakak dan adik.
Berbeda dengan si Batu, dirunut dari ilmu Arkeologi manapun, si Batu tetap saja tidak mempunyai nama lain. Klannya tetap saja batu. Tidak beribu-berbapak-berkerabat. Apalagi berjenis kelamin.
Kelamin ? Ya, sebongkah batu tidak berkelamin.

*
Layaknya sebongkah batu, manusia kerap memperlakukan si Batu dengan semena-mena. Kadang mereka menjadikan kaum si Batu sebagai tempat melampiaskan kekesalan mereka. Bahkan tidak jarang, si Batu dijadikan alat untuk menunjukan emosi mereka. Semisal, menggunakan batu untuk melempari seekor anjing kampung buduk yang nylonong masuk ke halaman rumah.

Akan tetapi, walau hanya sebongkah batu, kaum batu mampu menyimpan dan melihat banyak hal. Mulai dari sesuatu yang paling baik. Hingga sesuatu yang paling buruk sekalipun.
*
Waktu masih terlalu dini untuk dikatakan memasuki siang hari. Sebab embun yang bergulir rapi di pucuk-pucuk daun boungenvile masih terlihat utuh cemerlangnya.

Namun, seperti yang sudah-sudah. Seorang pria, pemilik rumah mewah ini sudah bersiap-siap menuju mobilnya. Kendaraan roda empat jenis keluaran terbaru. Dengan seorang perempuan yang lebih layak dikatakan sebagai putrinya, bergelayut manja di tangan sebelah kanannya.

“Papi, minggu depan kalau ke sini jangan lupa, bawakan Dinda oleh-oleh, ya. Tas Hermes yang limitid edition.” Rayunya manja. Tanpa memperdulikan tatapan mata dari batu-batu yang berserakan di halaman dan tamannya. Perempuan itu memagut bibir sang lelaki. Seperti memberi ketegasan, bahwa minggu depan jika ingin mendapat pagutan serupa, maka pilihannya adalah menyetor “upeti” seperti yang diminta.

“Iya, Sayang. Tentu. Apa sih yang tidak untuk Dinda.” Jawab sang lelaki tidak kalah genit.
Dan seperti yang sudah-sudah-juga, si Batu menjadi penonton setia tiap adegan kemesraan mereka di teras. Mahluk ciptaan Tuhan berjenis kelamin perempuan dan laki-laki.
*
Sang lelaki baru saja membuka pintu mobilnya, hendak menyongsong hangat seorang perempuan jelita yang sudah berdiri di teras rumah. Seperti biasa, Jumat sore adalah waktunya bersama sang perempuan.

Namun...entah bagaimana ceritanya, sang perempuan seperti gunung yang tengah bererupsi. Amarahnya menggelegak.

“Pergi, Kamu. Untuk apa datang kemari!? Katamu, akan segera menceraikan istrimu. Katamu akan segera menikahi aku. Katamu akan merawat anak dalam kandunganku. Kamu laki-laki laknat.” Terdengar jeritan-jeritan histeris yang tanpa ditanya mengapa dan kenapa, sudah nampak jelas alur cerita kisah keduanya.

Sang lelaki berusaha menenangkan tiap jeritan perempuan itu, namun yang didapat adalah cakaran-cakaran penuh luapan emosi. Jari-jari lentik berkuku indah terawat itu, kini telah meninggalkan goresan-goresan tipis di sekitar pipi dan pelipisnya. Padahal jari lentik nan indah itu, dirawat menggunakan isi dompet sang lelaki.

Namun seolah lupa pada kenyamanan dan fasilitas yang telah diberikan. Sang perempuan tetap saja meraung dan menjerit. Sambil sesekali memukul-mukulkan tangannya ke arah perutnya, “Ku bunuh saja anak ini. Kubunuh saja. Daripada harus lahir tanpa kejelasan siapa papanya.”
Si Batu melihatnya dan langsung memekik “Jangan...jangann...ada yang tidak berdosa di sana. hentikan pukulanmu” Si Batu berteriak-teriak, matanya menatap cemas dan gemas. Namun, sang perempuan tetap saja memukul-mukul perutnya.

“Woy, lelaki bodoh. Cepat, hentikan dia. Bisa mati beneran anak dalam perutnya itu” si Batu, melotot menatap sang pria. Berharap, untuk kali ini, ada seorang manusia yang bisa memahami bahasa batu.
Namun sama seperti sang perempuan, sang lelaki hanya bisa menenangkan tanpa berinisiatif menghentikan aksi sang perempuan. Yang makin bertubi-tubi memukul perutnya.

“Kalian gila. Kalian sinting, kalian terkutuk.” Si Batu memaki-maki sekenanya. Rasa gemas dan cemasnya sudah berada di titik maksimal.
Si Batu yang kerap iri pada silsilah hidup manusia, merasa tidak berdaya menyaksikan seorang perempuan yang berkeinginan memutus matarantai silsilahnya.
*
Sebulan berlalu sejak kejadian Jumat sore di teras rumah mewah ini. Rumah tempat si Batu dan kaumnya berdiam bergeming. Mereka yang dijadikan sebagai batu penghias pot-pot berisi rumpun Bougenvile.

Adegan mesra di teras masih menjadi tontonan si Batu dan kaumnya. Namun kali ini, sang perempuan tengah memagut bibir seseorang yang berjenis kelamin sama dengannya.

“Ah, rupanya memiliki kelamin ataupun tidak, bukan ukuran bahagia di dunia ini,” gumam si Batu.

 

***

Oil City, 28-12-15 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun