Selamanya itu lama, Tuan
Bukan satu jam, satu menit apalagi satu detik
Terlalu setianya waktu merekam jejak kaki kenangan yang makin berkarat
Meski tak ada lagi riak beriak dari tapaknya yang dulu riang
***
Saat satu masa tiba, ketika sebuah rindu harus dipaksa menjadisunyi
Lebih sunyi dari suara nafas bayi
Lebih senyap dari suara desau angin
Lebih lebur dari dedaunan yang hendak menjadi humus
***
Dedaunan urung jatuh, walau warna hijaunya telah mengkuning
Tepukan lembut sang angin, tak kuasa jatuhkannya. Ke tanah
Padahal, bumi sudah siap sedia menerimanya
Melebur rindu yang serupa tangisan
***
Tangisan rindu tak pernah dingin, selalu hangat setiap waktu
Tidak seperti secangkir kopi, yang kerap terlanjur dingin
Seiring nyala api pembakaran yang mengubah kayu menjadi abu
Puisi ini pun akan menghapus kesedihannya sendiri
***
Tentang waktu yang selalu berisik
Menggunjingkan sebuah rindu tanpa temu
Seanggun melati dengan warnanya yang putihlembut
Selembut itulah ketabahanku memikirkanmu
Oil City, 13 May 15
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H