Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Benci Selangkangan Milikmu dan Milikku

29 Desember 2012   18:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:50 1218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BANGSAT ?! Sumpah serapah ini sajalah yang bisa ku ucapkan di celah seringai eranganku, saat transaksi peluh mencapai garis finishnya. Setelah sebelumnya, berbagai pasang tangan berebut menari di gundukan-gundukan kenyal pahatan ilahi, yang mereka sebut puncak dada.

Aku mungkin hanya lelaki gombal, bajingan. Yang hanya bisa mengandalkan kekuatan selangkangan ku saja, ketika kau dan aku berada dalam sebuah ruang. Tempat yang di ikat dengan temali kaidah serta norma-norma sosial.

Hanya itu, ya hanya itu yang bisa kuberikan padamu, duhai betinaku. Hanya sebuah rasa yang berasal dari kekuatan selangkangan milikku. Ceruk-ceruk basah yang lengket, manakala kau berhasil meluluhlantakannya, dan membuatnya lunglai.

ooo

Malam ini, seperti biasa, aku dan kamu, kembali berada di sebuah bidang, tempat reyot peraduan milik kita satu-satunya, lengkap dengan kelambu morat maritnya. Yang sudah penuh sulam sana sini. Compang camping.

Betinaku ! detik ini, lagi-lagi amarah menjadi selimutku, ketika aku mencoba untuk mencumbumu laksana sang pengantin, padahal sudah jelas kulihat di sebagian kulitmu yang bak pualam, kutemukan noda-noda menjijikkan. Najis. Bagiku.

Diam. Hanya diam dan menghela nafas saja. Karena lagi-lagi, aku terperosok dalam lubang ketidakberdayaanku sebagai penjantanmu.

Masih untung. Itu yang sering aku katakan pada diriku sendiri, untuk menghibur harga diriku yang murung.

Masih beruntung, kau mau menjadi penggantiku, memikul beban tanggung yang memerlukan jawaban dari sebuah kebutuhan penunjang kelangsungan hidup. Apapun caranya.

Kerap aku mengutuk diri dan tentu saja mengutuk selangkangan ini. Yang tak mempunyai fungsi samasekali. Aku dan selangkangan ini, pasti bukan apa-apa dan siapa-siapa. Jika dibandingkan dengan para juragan atau wedana, yang sebelumnya menari di atas kulitmu, kemudian melempar bandul emasnya.

SIAL ! lagi-lagi umpatan ini muncul di sela-sela deru nafasku, saat surgawi beralih ke sekujur otak dan ototku.

Simbol-simbol hasil kerja peluhmu, rupanya kini ada juga di selangkanganmu.

Nafasku, memburu makin tak teratur, amarah kini membuncah luar biasa dahyat. Dua sisi saling berbenturan, saling membenamkan kekuatan masing-masing demi hasrat pencapaian ego tertinggi.

Phuiih ?! Aku membenci selangkanganmu, juga selangkanganku.

Tiba-tiba segerombolan tanya menyeruak diantara gamangnya nuraniku. Tentang selangkangan milik kita. Aku dan kamu. Betinaku.

Sebagai lelaki, ketika menjadikanmu halal, untukku, aku hanya bermodalkan dengkul. Itu pun dengkulnya sudah keropos. Aku kira, rasa yang meletup-letup didada bisa meredam suara berisik dalam perut. Tapi aku salah.

Satu jam, dua jam, mungkin bisa. Tapi bagaimana jika sehari, dua hari atau seminggu. Mati. Mati adalah akhir yang tepat untuk menggambarkan semuanya.

Pontang-panting, berjalan kesana kemari, namun sang dewi keberutungan merasa belum terpuaskan. Maka di tutuplah garis sesuap nasi milikku.

Lunglai dan lantak aku pulang, mendekapmu dengan tanpa hasrat. Rasa lapar membuatku lupa bagaimana bercumbu denganmu.

Yang kuingat, ketika itu, kau hanya tersenyum, entah dengan makna apa. Akupun tak mau mencari tau.

Gundah yang terpancar, membuatmu sejenak menghentikan tanganmu yang berlumur sabun colek. Kau hampiri, dan menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut. Sementara, kepalaku yang bersandar nyaman didadamu, mulai mengugah naluri lelakiku. Tapi ku urungkan saja niat mencumbumu. Karena aku harus menyimpan sisa tenaga yang ada, sebagai cadangan esok hari bila tak dapat gandum atau beras atau sesuatu bentuk penyambung raga.

ooo

Aku berangkat dulu ya. Pamitmu padaku, seperti biasa, ketika malam sudah merapat di waktu yang meninggi.

Aku diam saja. Tak menjawab. Hanya saja, ekor mataku terlalu berang, melihat betapa malam ini kau menjelma sebagai dewi yang rupawan. Kau berubah menjadi sosok idaman kaumku.

Dada yang membusung padat, pinggul yang singset dengan sedikit lemak, betis putih mulus walau tak jenjang. Dan, selangkanganmu,, yang malam ini kau balut dengan celana ketat berwarna, entahlah. Rasanya tidak sampai hati melihat dan membayangkan, bahwa setiap waktu siapapun bisa bermain-main di ceruk-ceruk selangkanganmu itu.

ooo

Selangkangan dan isi perut, kenapa mereka begitu serasi ya ? Emang tidak ada ada cara lain ya ?Yang lebih beradab untuk menyelesaikannya. Tanpa harus menggunakan kekuatan selangkangan.

Kira-kira apa ya ?Agar aku, yang terdepak tidak sengaja dari papan keberuntungan, bisa kembali meraih sedikit peluang keberuntungan, agar selangkangan milik betinaku tidak menjadi aset milik bersama.

Bagaimanapun, betina yang secara bergilir di jamah itu adalah istriku. Wanita yang sudah sukarela mengobral ceruk di antara paha kanan dan kirinya.

Karena baginya, lebih baik begitu, daripada harus aku yang begitu.

Dan aku makin tidak berselera dengan selangkangan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun