“Ahhh ?!..sudah waktunya kau beli beha baru Jum..” teriak Marni.
Jumi berdiri sambil membenahi sebelah tali beha nya yang longgar. Tangannya mengapai-gapai pengait belakangnya agar tetap menyangga payudara nya dengan baik.
“Iyalah, nanti kalau ada uang sisa..makin lama, laki-laki makin jarang kemari. Mereka lebih senang mengunjungi tempat-tempat resik daripada tempat seperti ini.” Mata Jumi berkeliling, mengamati dinding gerbong kereta api tua. Yang hampir setahun dihuninya. Gerbong kereta api yang sudah disulapnya menjadi rumah tinggal sekaligus tempatnya mencari uang. Menebar keringat pada sebilah kardus supermi. Dengan penutup kain butut berwarna hijau pupus. Warna yang sebenarnya pupus atau warna yang pupus dengan arti usang termakan usia.
Malam sudah datang. Jumi mendekap tubuhnya dengan balutan jarik berwarna coklat –tanpa celana dalam. Sementara untuk penutup bagian atas, Jumi mengenakan kemeja berkancing warna krem. Tentunya dengan behanya yang longgar.
Hujan yang menguyur seharian, membuatnya malas bergerak dari hamparan kardus miliknya.
Lalulalang arus lintasan kereta api, sudah begitu lekat ditelinganya, hingga sebising apapun bentuknya, tidak akan mengusik geliatnya.
Marni, rekan segerbongnya sudah dari sore pergi, bersama Parno. Supir becak langganannya. Mereka lebih layak dikatakan sebagai pasangan suami istri, daripada tukang pijat dengan becak langganannya.
Namun, ketiadaan biaya mengurus KTP serta beberapa surat lainnya, membuat mereka memilih hidup seperti kebo yang sedang kumpul. Dimanapun dan kapanpun, mereka bisa bebas melakukan ritual hasrat primitifnya. Bahkan tanpa ragu-ragu dan malu, Marni kerap kali bercerita betapa liarnya Parno, ketika menggunakan beberapa posisi binatang.
--oOo--
Dentuman yang keras, membangunkan Jumi yang sedang terlelap dalam dekapan Kunto, supir angkut yang semalam tersesat digerbongnya.
“Jumiiiiiiiiiiii…!!!!!!!!!” suara serak kasar terdengar dari balik gerbong.
Lekas-lekas Jumi bangkit, mengemasi pakaiannya, membalut tubuhnya hanya dengan jarik lurik warna coklat, tanpa beha apalagi celana dalam.
“Ehhh..pak Anwar..ada apa, kok pagi-pagi sudah sowan, bukankah hari ini sampeyan tugas dinas jaga stasiun hingga larut malam” dengan kenes Jumi menyapa sosok laki-laki tinggi besar dengan perawakan kekar, yang dipanggilnya dengan Anwar.
“Ahhhh..ga usah gombalin aku, mana setoran mu bulan ini” suara seraknya makin terdengar gahar. Wajah Jumi agak sedikit kecut, namun dia tak kehilangan akal.
Jumi melirik sedikit kedalam gerbong, dan memberi isyarat mata pada Kunto agar segera pergi melalui pintu di gerbong sisi satunya. Tanpa banyak bertanya Kunto pun mengendap-endap pergi. Tanpa meninggalkan sepeser uangpun pada Jumi, demi membayar keringat dan kenikmatan yang sudah Jumi berikan padanya semalam.
“Ehemmm..Uhukk..uhukk..” Jumi mendehem dan sengaja batuk-batuk beberapa kali, matanya melotot tajam pada Kunto.
Kunto nyengir. Dan akhirnya meletakan 3 lembar uang sepuluh ribuan di atas kardus tempat pergumulan mereka semalam.
Kini Jumi kembali memandang Anwar, laki-laki itu masih tegap berdiri diluar gerbong sambil sesekali mengamati beberapa sisinya.
“Ehmm..nganu…saya tak mandi dulu ya, setelah itu, monggo pak Anwar ke bilik ini, saya pijitin, mungkin otot-ototnya ada yang tegang dan kurang lurus” Jumi makin kenes menggoda laki-laki bertampang gahar itu.
Laki-laki yang di panggil Anwar adalah salah satu pekerja di stasiun tempat Jumi tinggal, disalah satu gerbong tuanya. Alih-alih meminta uang bulanan, Anwar kerap mengumuli Jumi secara cuma-cuma.
Jumi mungkin nampak kumal dan lusuh, namun wanita yang usianya belum mencapai 30an itu nampak menggoda. Walau hanya berpakaian seadanya, pesona kecantikan yang dimilikinya kerap membuat lelaki meliriknya, terlebih dengan gaya bahasanya ketika berbicara, yang kenes dan mengairahkan.
“Nganu, sampeyan balik ke pos dulu ya, saya tak mandi dulu, sejam lagi monggo kembali, saya tunggu, saya kan juga harus membereskan ruangan dalam dulu agar nyaman untuk memijit sampeyan.” Senyum Jumi terlalu menggoda pagi itu, hingga sosok segahar Anwar seperti kambing dicocok idungnya.
“Satu jam lagi aku akan kembali !” suara serak itu terdengar bergejolak, seperti menahan sesuatu yang akan klimaks.
“Inggih, monggo”
Sepeninggal laki-laki itu, Jumi gesit membereskan gerbong yang dia sebut sebagai rumah. Kardus tempatnya bergumul semalam dengan Kunto, disingkirkan dengan melemparnya keluar gerbong, lalu dikeluarkannya kardus baru berlogo Baygon, kemudian di hamparnya sehelai kain berwarna merah muda diatasnya. Tirai-tirai di aturnya agar nampak rapi. Beberapa peralatan makan sisa semalam mulai di masukan dalam tas plastik berwarna merah, agar bisa dibawanya ke kamar mandi umum untuk dicuci, sekalian mandi dan mencuci beberapa helai baju nya.
Tidak membutuhkan waktu yang cukup lama, Jumi sudah selesai melakukan semuanya. Mandi, membereskan gerbong yang dianggap sebagai rumahnya, tak lupa Jumi menjerang air demi segelas teh hangat tanpa gula penganti sarapannya. Baginya sarapan berupa kue terlebih nasi sangatlah mewah.
Kini dia duduk diam dengan menatap salah satu pintu gerbong kereta tua ini, tak lama lagi laki-laki berperut tambun itu pasti muncul. Demi menagih pajak bulanan yang tak mampu Jumi bayar dalam bentuk uang, namun Jumi mengantinya dalam bentuk ceruk basah yang siap menampung cairan aneh pekat nan lengket.
--oOo--
Itulah kehidupan seorang Jumi, seorang gadis desa yang terdampar di kota besar, alih-alih ingin bekerja menjadi TKW, namun ternyata biro yang menjanjikan pekerjaan itu malah membuatnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada sebuah club remang-remang. Siang malam tenaganya diperas tanpa ampun, belum lagi pembayaran gaji yang tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan, membuat Jumi akhirnya minggat. Melarikan diri dengan harapan bisa kembali ke kampung, dan kembali menekuni pekerjaan sebagai buruh tani serabutan.
Bukannya berhasil kembali ke kampung, ditengah jalan, Jumi kecopetan, dompet yang hanya berisi uang 28 ribu raib, padahal itu adalah satu-satunya modal untuk kembali ke kampung.
Bingung mencari tempat beristirahat membuat Jumi terdampar pada salah satu gerbong kereta di salah satu stasiun kota ini. Dengan takut-takut dia menelungkup didalamnya, hanya beralaskan Koran bekas yang ditemukan disekitar bangku penunggu stasiun. Perut lapar, tubuh mengigil kedinginan, membuat otak nalarnya Jumi menjadi kram. Dan akhirnya Jumi pasrah. Dia tumbang oleh sebuah kenyataan bahwa tubuh butuh makan, raga butuh energi.
Dua hari tanpa makan, membuatnya mengambil keputusan. Bahwa dia harus bekerja apapun. Termasuk melepas mahkota sucinya. Dengan harga berapapun, asalkan cukup untuk hidup beberapa hari kedepan.
Dan Anwar adalah laki-laki yang berhasil mendapatkan harga lelang sebuah keperawanan. Pekerjaannya sebagai kepala penjagaan stasiun, kerap membuatnya berkeliling memeriksa setiap sudut stasiun. Termasuk gerbong-gerbongnya.
Jumi hanya meringkuk penuh ketakutan, namun dia menutupinya dengan rapat. Belajar dari club remang-remang tempatnya dulu jadi babu, Jumi menawarkan diri, transaksi lelang keperawanan di mulai.
Malam itu, hanya dengan membayar tidak kurang dari 200ribu, Anwar mendapat sari madu milik Jumi, berkali-kali dalam semalam Anwar mereguk intisari yang selama ini Jumi jaga dengan rapat.
“Mulai sekarang tinggalah disini, tapi jangan lupa, pajak nya, untukmu pajaknya bisalah di atur” Anwar berkata sambil membetulkan letak ikat pinggangnya diperutnya yang tambun seperti tandon air.
Dilemparkannya 4 lembar uang limapuluh ribuan pada Jumi, yang wajahnya pucat pasi, meringgis menahan sakit pada perut bagian bawahnya.
“Inggih pak..inggih” jawabnya dengan memegangi perutnya. Untuk beberapa jam, Jumi hanya bisa tergolek, dengan menahan perih di sela paha bagian dalam. Cairan-cairan asing itu bergelanyar-gelanyar menyusuri sisi pahanya.
Mendekati subuh, Anwar pergi meninggalkan gerbong tua itu. Dengan seringai kepuasan berbalut kelelahan.
Sementara Jumi hanya bisa merintih. Menyesal atau tidak, Jumipun tidak bisa lagi membedakan nya, saat ini yang dia tau, bahwa kotoran laki-laki itu sudah tumpah ruah di perutnya.
“Aduhhh Mbok !!!!…aduhhh.” Jumi merintih.
Bagaimana mungkin aku pulang, jika kotoran laki-laki sudah pernah tertuang pada lapisan kulitku.
Rintihan yang siapapun tak akan bisa mendengarnya, karena lalu lalang lintasan kereta api sudah menyamarkannya. Termasuk sikap seorang Anwar, yang mengambil keuntungan dari derita seorang Jumi.
--oOo--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H