[caption id="attachment_219855" align="aligncenter" width="300" caption="Dorma dan Aya"][/caption]
Itulah yang ingin aku ungkapkan tentang sosoknya.
Kami belum pernah sekalipun bersua, walaupun sering berinteraksi dalam pertemanan maya. Namun, awal mula mengenalnya, aku sudah sangat merasa nyaman, sikap rendah hati dan empati yang ditunjukan, menyakinkanku bahwa dia sosok sahabat. Sosok saudari.
Sebagian orang katakan, bahwa seorang sahabat layaknya sepasang mata. Kiri melengkapi kanan, kanan melengkapi kiri. Duka menjadi pelipur, suka menjadi pelengkap senyum.
Beberapa hari sudah berlalu, sejak pertemuan itu. Ketika pertama kali dia memelukku, dengan setting suasana dapur. Kehangatan yang diberikan meloloskan rasa khawatirku, cemas dan takut pada sebuah penerimaan.
Waktu yang dikatakan senja mulai merayap pada malam, namun sosoknya terus saja bergerak kesana kemari, sesekali kudengar nafasnya memburu, seolah menyembunyikan penat yang mulai memberatkan gerak langkah. Sesekali senyumnya nampak terkembang, namun tetap tak bisa menutupi kelelahan di wajahnya.
Ekor mataku, sesekali mengikuti bayangan nya. Dalam hati, aku terharu, inikah sahabat yang kukenal dari dunia maya. Inikah sahabat yang selalu setia hadir pada setiap coretanku, walau sekedar memberikan “jempol:nya”.
Hingga, satu waktu, dini hari, kutemukan dia, sendirian didapur, mencuci beberapa perkakas makan dan minum.
Rasa kasihku mengharuskan aku meraih tangannya, kukatakan, “Biar Aku saja yang kerjakan..” namun dengan kelembutan dan senyuman dia menolak “ Ah, ga usah..biar saja..toch hanya gelas yang kucuci..”
Ingin rasanya aku memeluk dan menyuruhnya..” Istirahatlah, sahabatku, penatmu sudah berontak” tapi aku tahu, bahwa itu akan sia-sia.
Ahkirnya kuputuskan untuk membantunya, sementara sebagian perkakas sudah kami bersihkan, aku menyusur beberapa tempat, memungguti sampah serta mengumpulkan perkakas kotor.
Waktu itu, dini hari menjelang pagi, aku benar-benar menjadi manusia yang paling beruntung, karena secara tidak langsung sudah mendapat pelajaran, tentang tulusnya mengasihi.
Bisa jadi, dia akan bersikap tak peduli, tak mau repot, dan asik bermanja dengan rasa penat.
Namun, karena rasa tulus menyayangi dan mengasihi, maka dihalaunya penat itu.
Semalaman, aku tak jua memejamkan mata, dan asik bercengkrama dengan sahabat lainnya. Kudengar langkah lunglainya memasuki kamar. Tetap dengan senyum di bibirnya. Ikhlas dan tulus..perpaduannya sangat sempurna.
Hari mulai memasuki pagi, namun matahari masih malu-malu untuk keluar, dingin menusuk sendi-sendi, menambah nyamannya berpelukan dengan selimut. Tapi, lagi-lagi, kutemukan dia sudah sibuk di dapur, kali ini dengan perkakas bersih yang sudah dicucinya semalam. Di atur dengan rapi, agar kami mudah menggunakannya.
Dengan sigap, dia halau tumpukan-tumpukan sampah, karena dia tahu, tumpukan itu aromanya bisa menganggu waktu sarapan.
Aku hanya diam, tetapi ekor mataku sibuk mengikuti sosoknya, aku ingin memeluknya, memeluknya erat. Dan berkata “ Sahabatku, kau capek..istirahatlah..kami sahabatmu, bukan tuanmu..dan kau..kau adalah sahabatku, bukan budakku..”
Waktu mulai menunjukan kekuatannya, sekuat apapun kutahan, tetap saja, perjumpaan harus berahkir dengan perpisahan.
Ahh..sahabatku, aku terlalu larut pada gerak gerikmu, hingga aku tak bisa bicara apapun saat memelukmu. Aku hanya bisa tersenyum, sementara dadaku rasanya mau pecah, menahan sedih karena hanya sebentar saja waktubersamamu.
Di akhir perjumpaan, aku kembali memelukmu erat dan kuat. Berjanji dalam hati, bahwa kau adalah agendaku ketika pulang ke kota ini.
Mobil mulai menjauh, menjauh dari bayanganmu, dan disinilah airmataku mulai tumpah. Airmataku mulai ruah. Aku terharu. Bahagia. Bersyukur.
Mengenal kemudian berkesempatan memelukmu, adalah sungguh indah. Kado yang kudapat sebelum ulang tahunku.
Terima kasih sahabatku, Dorma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H