No Peserta : 69
Jika bicara jadul, selalu identik dengan waktu yang sudah lampau. Sebuah ukuran waktu yang biasanya di atas angka puluhan.
Namun kali ini, saya ingin berbagi kisah separuh jadul. Kenapa saya sebut separuh jadul, karena usia kisah ini baru berusia 6 tahun.
Namun sayayakin, bahwa di masa sekarang, pasti akan sangat sulit sekali menemukan benda seperti milik saya.
Sebuah benda yang berujud voucher isi ulang, yang kala itu masih berbentuk fisik (kartu). Pemberian salah satu adik saya, dari gaji pertamanya.
Di mulai dengan hijrahnya adik lelaki saya ke Balikpapan. Dengan niat awal ingin mengikuti seleksi penerimaan calon Bintara. Namun ternyata keberuntungan tidak berpihak padanya. Karena kalah dengan nego-nego yang berujung nilai nominal.
Singkat kata, setelah tidak beruntung dalam seleksi tersebut. Adik saya mulai rajin mencari informasi mengenai lowongan pekerjaan. Baik lewat Koran ataupun saudara-saudara terdekat bahkan rajin mengirim CV pada tiap perusahaan yang di lihatnya. Tanpa memperdulikan ada atau tiada lowongan, karena bagi dia, rejeki sudah ada yang mengatur. Tergantung dari tekad dan usaha. –katanya begitu-.
Hingga suatu hari, adik saya mendatangi saya di kantor. Wajahnya nampak berseri-seri.
“ Mbak, aku dapat panggilan kerja. Di Bondy sebagai helper dapur. Terus besok aku mulai kerja.” Ucapnya dengan bersemangat.
( Bondy adalah salah satu nama restoran tersohor di kota Balikpapan )
“ Oh ya..selamat ya De. Ahkirnya Ade kerja juga.” Saya ikut larut dalam kebahagiaannya.
“ Tapi gajinya kecil Mbak. Cuma 450rb. Sebulan. Cuma makan di jamin.”Urainya lagi
“ Gpp dong De. Yang penting halal. Lagian juga kan, Ade pernah bilang mau kerja apa aja. Itung-itung nyari pengalaman.”Saya memberi semangat padanya.
“ Bener mbak. Yang penting cari pengalaman dulu. Kumpulin uang untuk kuliah.”
“ Mbak dukung. Apapun pekerjaan kamu.”
Itulah dialog kebahagiaan adik saya ketika memberi kabar bahwa dia akan bekerja esok hari.
Pagi-pagi sekali, sesudah sholat subuh. Adik saya sudah bergegas pergi. Terlihat sekali wajahnya sangat bersemangat.
Namun entah mengapa hari itu saya merasa sangat gelisah, khawatir dengan proses adaptasi yang harus di jalaninya. Terlebih beberapa kali sms dan panggilan yang saya kirimkan tidak di respon.
Malam belum terlalu larut, ketika saya pulang kantor, saya melihat motor nya sudah ada. Artinya dia sudah pulang, rasanya tidak sabar ingin mendengar pengalaman kerjanya di hari pertama.
Namun, begitu saya masuk rumah. Suasana begitu sepi. Saya buka pintu kamarnya. Ternyata adik saya sudah tertidur pulas. Masih dengan menggunakan sarung dan nampak sebuah Quran tergeletak di sisinya. Saya rapikan sajadah dan Quran tersebut. Saya pandangi wajahnya. Nampak sangat kelelahan. Saya belai rambut nya, dia tak bergerak sedikitpun. Rasanya inginmembangunkannya, namun perasaan tidak tega muncul ketika melihat gurat-gurat lelah di wajahnya.
Malam itu saya tidur, dengan menyimpan tanya. “ Pekerjaan apa yang di jalani adik lelakiku, hingga wajah dan badannya nampak begitu kelelahan.”
Pagipun datang, seperti biasa sesudah sholat subuh,dia mulai bersiap-siap untuk bekerja. Di hari yang kedua ini, adik nampak membawa baju ganti.
“ Ade, kok bawa baju ganti. Untuk apa?.” Tanya saya padanya.
“ Ya untuk gantilah mbak. Soalnya aku di sana kerjanya basah-basah terus. Walaupun pake lampin. Tetep aja basah. “ jawabnya.
“ Emang Ade ngerjain apaan sich. Semalam mbak pulang, ade udah bobo. Mana masih sarungan, sajadah ga di lipat, Quran juga ga di rapikan.”
“ Hehehe..semalam capek banget. Itu aja baca yasin sambil ngantuk-ngantuk.” Jawabnya.
“ Ntar malam, ngobrol-ngobrol ya soal pekerjaan barunya.”
Malam itu kami mengobrol, walau terlihat jelas matanya sudah terkantuk-kantuk. Namun dari obrolan itu, sudah cukup menjawab pertanyaan yang semalam menggantung.
Ternyata definisi sebagai helper di dapur itu sama dengan definisi seorang pembantu . Artinya semua urusan dapur dia yang kerjakan.Seperti membersihkan ruangan dapur, mencuci peralatan dapur, bahkan urusan angkut-mengangkut sembakopun dia harus ikut mengerjakan.Dalam hati miris mendengarnya. Karena saya bekerja di ruangan dengan zona yang nyaman. Sementara adik saya di tempat yang sebaliknya.
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah 3 minggu adik saya bekerja. Dan selama 3 minggu dia bekerja, saya harus mengendalikan perasaan tidak tega di depannya. Mencoba sekuat tenaga tidak menangis, manakala terkadang melihat tangan nya terluka, tergores pisau ketika sedangmencucinya. Atau melihat pundaknya legam ketika harus mengangkut sekarung tepung terigu.
Pikir saya, untuk apa saya bersedih, sementara adik saya tidak pernah sekalipun mengeluh. Setiap pagi dia selalu bersemangat. Bahkan selalu antusias bercerita ini itu soal pekerjaannya.
Tibalah masa gajian.
“ Hari ini, aku gajian mbak.” Katanya.
“ Ternyata begini ya rasanya mau gajian pertama kali.” Wajahnya begitu berseri-seri.
“ Horeeee…makaaannnnnnnn.” Jawab saya. Merespon cerita di pagi itu.
Dan jadilah hari itu, hari paling bersejarah bagi saya dan adik saya.
Hari itu, adik pulang agak siang. Begitupun saya, jika biasanya selalu pulang di atas jam 20.00, hari itu saya pulang jam 17.00.
Sesampai di rumah. Dengan tidak sabar dia menarik tangan saya. Dan dia keluarkan dua buah voucher pulsa dari dompetnya.
Dua buah voucher seharga rp.200.000 (sementara gajinya rp.450.000). Kali ini saya tidak bisa menahan rasa haru. Mata saya berkaca-kaca ketika tangannya mulai menggosok bagian hitam di voucher itu, dan mengisinya di hape jadul saya. Saya diam memperhatikannya, nampak telapak tangannya terluka. Dan berkerut-kerut. Seperti telapak tangan yang terendam air dengan waktu yang lama.
[caption id="attachment_209159" align="aligncenter" width="300" caption="inilah voucher perjuangan itu"][/caption]
Saya tidak bisa berkata apapun, selain mengucap “ Ade, uangmu ga habis untuk beli voucher sebanyak ini. Katanya mau nabung untuk kuliah.”
“ Tenang saja.” Jawabnya dengan ringan.
Malam itu, menjadi kenangan yang tidak pernah bisa terlupakan. Hingga kini, bayangan luka dan tangan berkerut milik adik saya masih tergambar jelas.
Bukan bentuk nominalnya yang membuat saya tidak membuang bekas voucher itu. Tapi karena nilai perjuangan membeli voucher tersebut. Perjuangan seorang adik lelaki yang kala itu berusia 19 tahun, namun mau bekerja keras tanpa memilih jenis pekerjaannya. Dan dengan gaji yang tidak seberapa, rela berbagi kebahagiaan dengan kakak perempuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H