Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seragam Putih Abu, Kok Masih Diantar

10 Juli 2012   19:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:05 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah Menengah Ekonomi Atas, atau sebagian orang mengenalnya dengan SMEA. Yah itulah sekolah lanjutan yang saya pilih setelah saya lulus dari SMP.

Dari awal saya tidak begitu tertarik dengan sekolah yang mayoritas adalah kaum hawa. Karena menurut saya, jika kaum hawa berada dalam satu komunitas makayang ada hanyalah upaya pamer- memamerkan sesuatu.

Namun apa daya, saya hanyalah seorang anak, daripada saya tidak sekolah, jadilah saya ikuti kemauan Bulek saya. Looohh kok Bulek. Tenang, ada cerita di balik layar tuch, nah ceritanya begini, SMP saya di Bandung, terus berhubung nenek saya di Solo tidak ada yang menemani maka jadilah saya cucu yang di pilih menemani Beliau.

( Beruntungnya nenek punya cucu seperti saya :)).

Oke. Mari kita mulai ceritanya.

SMEA yang di tawarkan adalah SMEA swasta yang berada di bawah naungan yayasan Kristen. Kenapa Bulek saya memilih sekolah tersebut ?, di samping jarak yang dekat dengan rumah, disiplin dan mutu pendidikan yang baik juga menjadi salah satu faktor utama, selain itu  karena beberapa staff pengajar di sana adalah teman gereja Bulek saya.

Di karenakan unsur pertemanan itulah, segala prosedur pendaftaran berjalan sangat mudah sekali. Lancar ga pake macet.Masa pendaftaran selesai. Termasuk seleksi jurusan, dan ternyata saya masuk dalam jurusan Administrasi Perkantoran alias jurusan Sekretaris. Wow, luar biasa, saya yang kadang terlihat seperti Rahwana ini masuk jurusan sekretaris.Wooww ( lagi ah ).

Setelah menyelesaikan uang administrasi dan sejenisnya. Ahkirnya saya mendapat jatah berupa 5 stel pakaian seragam sekolah, 2 pasang sepatu beserta 3 pasang kaos kaki plus tas sekolah. Takjub saat menerima semua perlengkapan tersebut, antara percaya dan tidak.

Yang mulanya saya setengah hati memasuki sekolah SMEA, setelah mendapat dan memegang seragam berwarna putih abu, sikap saya berubah 180 derajat. Bahkan saking gemesnya, seragamnya saya gantung dekat tempat tidur, agar bisa memandangnya dari jarak dekat.

Ahkirnya tibalah masa sekolah.

Sejak semalam, segala peralatan sudah saya siapkan. Termasuk seragam saya. Dalam hati melonjak kegirangan. AKU SUDAH GEDE LOCHHHHH…(artinya udah boleh pacaran,cihuuyy ).

Hari pertama masuk sekolah di SMEA adalah hari yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, mungkin juga bagi teman-teman seangkatan yang mengenal saya. Bagaimana tidak. Karena hari itu saya di antar Bulek ke sekolah, dengan menggunakan sepeda onthel ( beneran loh ini ), alasannya karena saya masih belum hafal daerah Solo. Sesungguhnya bukan sepeda onthelnya yang mengukir kenangan tersendiri.

Jam 6 lewat saya dan Bulek sudah start dari rumah, karena peraturannya jam 06.45 gerbang sekolah di tutup.Dari rumah saya adem ayem saja di bonceng, tapi setelah mendekati area sekolah, saya merasa kurang nyaman. Saya merasa jadi bahan perhatian beberapa siswa. Beberapa malah ada  yang menertawakan. Di tambah lagi dengan  sikap Bulek yang terlalu berlebihan.(menurut saya saat itu). Terbayangkan bagaimana perasaan saya (hiks), udah SMEA tapi hari pertama di antar Bulek. Bahkan mengantarnya bukan hanya sampai depan gerbang, tapi sampai ruangan kelas. Dan dengan nada penuh keceriaan bilang seperti ini.(serasa doi yang mau sekolah)

“ Mbk-mbk, titip anakku ya, dia belum sebulan di solo. Kalo kemana-mana tolong di jagain.” (dzzighh).

Bahkan Bulek sampai ikut andil dalam pemilihan bangku dalam kelas. Dan saya, dengan imut dan manisnya berjalan mengikuti kemana Bulek melangkah. Tentunya di iringi "'seringai" teman-teman baru saya.

Ternyata sikap  "sayang"  Bulek tidak hanya sampai di situ. Karena merasa sudah mengenal sebagian pengajar di sana. Maka sayapun di giring  ke ruang guru.

“ Mas Rudi, ini anakku, Novi, titip ya. “

“ Oh yo, gampang. Mengko nek ono opo-opo tak kabari. “

Ahkirnya setelah acara anjang sana-sini. Bulek pun pulang dengan senyum merekah, meninggalkan saya yang menjadi bahan senyuman teman-teman sekelas.

Posisi ruangan kelas saya, kebetulan di lantai 2. Menghadap jalan raya dan bersebelahan dengan tempat parkir. Saya sempat mengintip, sekedar memastikan Bulek, apakah sudah pulang atau belum. Tapi ternyata saya melihat Bulek masih bercakap-cakap dengan seorang pria paruh baya, yang katanya penjaga parkiran sekolah.

Hari pertama saya sekolah di Menengah TingkatAtas, di warnai oleh senyuman para teman baru dan guru-guru, bahkan bapak penjaga parkir. Usut punya usut, ternyata Bulek juga menitipkan saya pada beliau, bahkan Bulek sampai memperlihatkan foto saya.(saking takut keponakannya hilang).

Ritual mengantar jemput sekolah, Bulek lakukan hampir seminggu. Yang sungguh “ berkesan “ sekali adalah ritual penjemputan. Karena jika Bulek dan sepeda onthelnya sudah datang, maka akan nada panggilan melalui speaker dari ruangan guru (posisinya pararel dari ruang guru ke ruangan kelas).

“ Kepada ananda Novi, harap ke ruang guru. Di tunggu Buleknya.”. (astaga, sudah seperti panggilan anak hilang di mall)

Namun tidak bisa di pungkiri, oleh karena hal tersebut, tanpa melalui proses perkenalan, saya menjadi lebih terkenal di bandingkan teman-teman yang lainnya. Walaupun saya dapat sebutan “ Anak’e Bulek. “

(so sweet ya)

Kisah tersebut, membawa cerita tersendiri bagi saya dan teman-teman semasa sekolah. Terutama saat saya menjabat sebagai ketua Osis dan ketua Mading, ataupun organisasi lainnya.

“ Hayoooo ibu ketua Osis dan Mading, sudah mimik cucuk belum ama bulek.”

Dan Grrrrr…..pecahlah tawa saya dan teman-teman.

Jika di ingat, ketika itu, saya merasa sedikit jengkel dengan sikap over protektip yang di lakukan Bulek. Namun setelah lulus, betapa beruntung-nya saya memiliki Bulek seperti beliau. Walaupun saya hanyalah seorang keponakan, namun kasih sayang dan kekhawatirannya terhadap saya, seolah saya adalah darah daging nya.  Dari sikap yang sudah di lakukan Bulek, saya menilai, bahwa setiap pengorbanan pasti selalu ada hikmah di dalamnya. Contohnya, seperti yang saya uraikan di atas. Sikap Bulek secaran tidak langsung sudah membawa efek tersendiri bagi kehadiran saya di sekolah tersebut. Yang notabene pendatang dari luar Solo. Walaupun siswa pendatang tapi pamor saya naik dengan cepat. Berkat bantuan Bulek.

Dan boleh percaya boleh tidak, sepeda onthel yang dulu dipakai mengantar saya sekolah, hingga kini masih ada.

Terima kasih Bulek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun