Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Permohonan Alisa

23 Februari 2014   01:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papa, apakah mama secantik aku?” tanya Alisa pada Dion, papanya, sesaat menjelang waktu tidurnya.

Dion mengerutkan keningnya, lelaki berkulit coklat dengan postur tegap berusia sekitar 32 tahun itu terhenyak oleh pertanyaan Alisa putri semata wayangnya.

Akhir-akhir ini Alisa kerap kali menanyakan banyak hal perihal Soraya, istrinya yang meninggal ketika melahirkan Alisa, 4 tahun yang lalu.

“Iya sayang, pastinya..mama dan kamu adalah wanitapaling cantik sedunia” Dion mencubit gemas pipi Alisa.

Sedari Alisa berusia satu hari, Dion lah yang menina bobokannya. Dan demi bisa menina bobokan Alisa, Dion rajin membeli lagu anak-anak kemudian menghafalnya. Berkat usahanya tersebut, Dion mempunyai beragam koleksi lagu anak-anak yang digunakan untuk menimang Alisa.

"Aya..aku merindukanmu, Sayang" lirih Dion, sambil memainkan anak rambut Alisa.

***

“Alisa…ayo cepat makannya..nanti terlambat mengajinya..coba lihat sudah jam berapa sekarang” dengan nada gemas Dion membujuk Alisa agar segera menelan makanan yang berada di mulutnya. Sedari tadi Alisa hanya mengemutnya saja tanpa mengunyah.

“Papa, kenapa sii mama lama sekali perginya. Alisa belum pernah ketemu mama. Kenapa mama selalu datang saat Alisa bobo” Bibir Alisa membentuk kerucut. Dari wajahnya terpancar sebuah kerinduan yang terpendam.

Lagi” Dion membatin. Di letakannya piring yang sedari tadi di pegangnya, kemudian mendekati Alisa dan mendudukkannya di paha sebelah kanannya.

Alias tertunduk lesu “Pa, Alisa lusa ulang tahun..Alisa ingin bertemu mama. Papa bilang mama pergi karena bekerja, tapi kenapa setiap ulang tahun hanya papa yang menemani Alisa” wajah menggemaskan Alisa berubah sendu. Mata beningnya berkaca-kaca, dan sebentar lagi kaca itu akan retak dan hancur berkeping-keping.

Dion memeluk tubuh mungil Alisa. Dengan penuh kasih sayang, di belainya rambut Alisa yang berwarna kecoklatan.

“Rambutmu, seperti mama, Alisa. Lurus dan berwarna coklat”

Alisa terdiam. Dan sikapnya tidak seperti biasanya ketika Dion bercerita tentang sosok Soraya, mamanya.

Dan Dion bukan tidak menyadari hal itu, dalam hatinya Dion selalu menjerit, terluka. Karena Alisa harus tumbuh menjadi besar tanpa seorang ibu di sampingnya. Bukannya Dion tidak ingin mencari seorang mama bagi Alisa, namun rasa cintanya yang dalam pada Soraya telah mengunci pintu hatinya untuk menikah lagi.

***

Hari ini tepat 5 tahun usia Alisa, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu dibuatkan pesta meriah untuk merayakannya. Tahun ini Alisa menolak untuk di adakan pesta ulang tahun, dan sebagai gantinya Alisa meminta kepada Dion untuk bisa menemui mamanya, yang katanya sedang pergi bekerja.

Awalnya Dion tidak berkenan dengan keinginan Alisa, karena merasa bahwa sekarang bukan waktu yang tepat memberitahu Alisa perihal mamanya yang sudah meninggal namun karena beberapa hari menjelang ulang tahunnya Alisa mendadak demam tinggi, dan kerap menginggau memanggil “Mama..mama..” maka dengan hati berat kebingungan Dion mengabulkan permohonan Alisa.

Membuat cerita tersendiri ikhwalkeberadaan Soraya, selalu berhasil membuat trenyuh hati Dion sekaligus menimbulkan rasa bersalah. Sedari awal Dion sudah tidak jujur pada Alisa perihal Soraya yang tidak pernah dia lihat. Selama ini Dion selalu mengatakan bahwa Soraya sedang sibuk bekerja.

***

“Alisa, ayo bangun, Nak! Bukankah kita akan menemui mama hari ini, jangan terlambat nanti mama keburu pergi lagi loch” bujuk Dion pada Alisa yang masih bergelung dengan guling kesayangannya. Guling berwarna biru muda dengan gambar doraemon di semua sisinya.

Alisa langsung membuka matanya lebar-lebar seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. “Benerkah, hari ini mama mau menemui kita”

“Iya sayang, bergegaslah mandi dan pakailah baju terindahmu, agar mama senang bertemu dengan kita”

“Horeeeeeeeee” Alisa beranjak dari tempat tidurnya dan berlari menuju kamar mandi. Dion mendengar dengan jelas, nyanyian Alisa saat mandi.

“Putriku, maafkan papa ya Nak” batin Dion merintih.

***

Membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk bisa mencapai tempat ini, sebuah pemakaman yang menurut beberapa orang adalah pemakaman mahal. Membutuhkan ratusan juta untuk membeli tanah di sini, di tambah biaya bulanan rutin yang harus di keluarkan sebagai biaya pemeliharaan makam.

Tapi bagi Dion hal tersebut tidak masalah, demi Soraya apapun akan dilakukan. Ada atau tiada dirinya, Dion akan senantiasa membuatnya bahagia. Walau hanya berupa nisan, tapi haruslah nisan terindah.

“Papa, mana mama..katanya kita akan bertemu mama?” tanya Alisa kebingungan, karena sedari tadi yang dilihatnya hanyalah suasana tanah lapang sepi dengan gundukan tanah yang di pancangi nisan lengkap dengan data pemilik nisan.

“Sebentar lagi sayang, mama sudah dari tadi menunggu kita di sini” Jawab Dion datar. Direngkuhnya Alisa dalam gendongannya.

Dion butuh kekuatan dari seorang Alisa untuk mengatakan yang sebenarnya tentang Soraya. Tapi Dion terjebak dalam ketakutan seandainya Alisa ternyata tidak bisa menerima kenyataan bahwa seseorang yang di panggilnya “mama” ternyata hanya berupa gundukan tanah, yang di sekelilingnya terdapat beberapa pohon mawar serta pohon melati kemudian sebuah nisanyang bertulisan Soraya Abdullah.

Dion berhenti dan menurunkan Alisa, Dion berjongkok dan memungguti beberapa rumput yang tumbuh liar di sekitar makam.

“Papa, itu foto mama kok ada di dalam batu” Alisa bertanya kebingungan dengan jari telunjuk kirinya menunjuk tepat ke pusara Soraya.

Dion nanar menatap Alisa, matanya mulai basah, di rengkuhnya Alisa “Alisa, anakku, inilah mamamu sayang…” katanya terbata.

“Tapi..kata papa mama bekerja..kenapa hanya ini” Alisa makin bingung, wajahnya mulai merona merah, menahan sesuatu emosi yang tidak di pahaminya.

“Alisa, mama memang bekerja tapi mama bekerja pada Tuhan..dan Tuhan itu tempatnya berada jauhhhhhh…dan tingggiii…sangat tingggiiii…untuk kesana membutuhkan waktu yang sangat lama” entah kekuatan dari mana tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari bibirnya.

Alisa termenung. Wajahnya lekat memandang foto yang tergambar di pusara Soraya. Alisa mendekati nisan Soraya dan tangan mungilnya mulai menelusuri setiap sisinya “Mama..mama..”

Dion tak mampu menahan rasa harunya, rasa bersalah makin menyeruak di rongga dadanya. Wajahnya pasi, karena membayangkan kekecewaan yang tengah mendera putrinya.

“Alisa…”

“Ya, papa”

“Pukul-lah papa, Nak. Karena papa tidak mengatakan mama bekerja pada siapa”

Alisa menoleh pada Dion, bibirnya terkatup rapat.

“Alisa, lihat papa, Nak…dengar papa” Dion memegang kedua pundak Alisa dan matanya memandang lembut pada Alisa yang masih nampak kebingungan.

“Mamamu…walau dia bekerja pada Tuhan tapi dia selalu ada di hati kita..”telunjuk Dion menunjuk lembut pada dada mungil putrinya.

Dion tahu bahwa hal ini sulit untuk di mengerti anak seusia Alisa, namun Dion berjanji mulai hari ini Dion akan mengatakan yang sebenarnya pada Alisa, secara pelan-pelan.

Agar Alisa tidak terjebak oleh harapan-harapan hampanya yang di khawatirkan bisa memicu kebencian pada Soraya, mamanya.

Alisa memungut bunga kamboja yang jatuh tepat di kaki sebelah kanannya, dia memungutnya lalu meletakannya tepat di pusara Soraya “Mama, ini bunga buat mama…mama hati-hati ya bekerjanya..Alisa janji akan rajin mengaji, agar Tuhan senang dan tidak memarahi mama saat bekerja..Alisa sayang mama”

Apa yang baru saja di lihatnya sontak membuat Dion tersayat-sayat hatinya. Di usianya yang masih dini, begitu mudahnya Alisa memahami apa yang tengah terjadi, bahkan kepolosannya menyampaikan rasa sayang pada Soraya, mengelitik hatinya.

Bahwa selama ini dirinya ternyata jarang sekali berdoa untuk Soraya, sekedar mengirim doa bagi Soraya di alam baka. Dion merasa dengan membayar uang bulanan pada pengelola pemakaman sudahlah cukup.

Tuhan, terima kasih untuk malaikat kecil ini” batinnya, dan linangan airmata di biarkannya turun deras. Dirinya merasa tidak perlu malu untuk menangis di depan Alisa, gadis kecilnya.

“Papa, jangan menangis..nanti mama sedih kalau papa menangis…kalau mama sedih nanti ketahuan Tuhan, terus Tuhan marah ama mama karena mama tidak bekerja dengan rajin..”

“Iya, Nak..iya” Dion terisak.

Untuk beberapa waktu lamanya Papa dan anak menghabiskan waktu bersama di pusara Soraya.

Gurat kelegaan terpancar dari wajah Dion, tak henti wajahnya memandang Alisa dan pusara Soraya secara bergantian.

Menjelang sore, Dion dan Alisa beranjak, mereka berjalan bergandengan tangan, sesaat sebelum pulang Alisa mencium pusara Soraya “Mama, hati-hati ya kerjanya disana..temui Alisa dalam mimpi jika mama tidak sibuk..Alisa pulang dulu ya, Ma”

Keduanya pun berjalan menjauh dari tempat peristirahatan terahkir Soraya, dan tanpa di sadari oleh keduanya sebuah bayangang tipis, berbentuk tubuh seorang wanita memandang sambil tersenyum.

“Aku cinta kalian” ujarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun