Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Sekilo Lewat Limaratus Meter

18 Oktober 2014   20:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:32 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kan begini, ceritanya hari ini aku sedang bahagia. Pagi-pagi pas melek mata, dapat sms yang manis sekali. Ucapan selamat pagi yang aku tahu diketik dari hati yang paling dalam. Tau dong, sesuatu yang berasal dari dalam hati terdalam itu biasanya murni, asli, pure. Tidak akan ada dusta apalagi modus.

Setelah senyum-senyum membaca pesan singkat yang menurutku super manis dan krenyes. Aku siap-siap mandi karena sebagai anak sekolah yang baru memasuki usia 16, omelan Emak seperti suara nenek sihir yang kudu dihindari, dan demi menjaga kestabilan rasa bahagiaku pagi ini aku lebih memilih untuk sebentar saja menjadi anak yang disiplin, yaitu bangun tidur kuterus mandi tidak lupa menaruh baju kotor di ember belakang kemudian membantu Emak menghabiskan sarapan yang ga ada hawa panasnya samasekali karena Emak membuatnya pagi buta sekali. Selepas sholat subuh Emak lebih memilih berkutat dengan kuali dan panci plus wajannya yang berpantat gosong. Daripada berbaring disampingku terus membelai rambutku yang kata Emak kerasnya kayak sapu ijuk di Mushola depan rumah. (Emak emang begituuuu….ga pernah bangga ama anaknya)

Sambil bernyanyi-nyanyi kecil kuikat tali sepatuku, warnanya hitam sesuai anjuran wali kelasku, Pak Kirman, si mister killer yang galaknya ngalahin nenek lampir di serial misteri Gunung Merapi. Ikat pinggangku yang pudar warna hitamnya sudah menempel manis di pinggangku yang tipis setipis silet. Dasi, topi, buku PR semua perlengkapan sekolah yang vital sudah lengkap. Hari ini adalah hari Senin, dimana ritual berdiri di bawah terik matahari pagi sudah menjadi tradisi dari jaman Emak SD. Berdiri sambil hormat bendera warna merah putih, yang katanya merah itu adalah warna darah para pahlawan yang berjuang demi bangsa dan putih katanya adalah warna putih tulang para pahlawan. Sebenarnya pas denger beginian, otak langsung mikir “Emang para pahlawan yang gugur di medan pertempuran, setelahnya mereka di kuliti, ya. Hafal bener ama warna tulangnya.” Dan setelah berpikir begitu, aku jadi cengar cengir sendiri, keingat Emak. Kira-kira tulangnya Emak berwarna apa ya? Pan Emak janda penjual sayur keliling, bukan pahlawan.

Waktu berangkat sekolah tiba. Kuraih tangan Emak, dan berpamitan mengharap ridhonya agar hari-hariku sebagai pelajar Sekolah Menengah Atas dapat kulewati tanpa terbawa arus narkoba dan sejenisnya. Dan, dengan ridhonya aku juga berharap semoga si Marni, kakak kelasku yang duduk di bangku kelas 3 mau dan sudi menjadi pacarku. Yah, minimal selama di sekolah deh, daripada tiap pensi aku datang sendiri. Mojok di ruangan berteman rasa galau dan irihati yang hebat karena ga punya gebetan.

***

Satu meter pertama kulewati, seratus meter dan akhirnya tepat sekilo lewat limaratus meter aku sampai di sekolah. Suasana pagi ini nampak riuh seperti biasanya. Nampak Dulah yang baru jadian ama Prita sedang duduk mesra berdua di bawah pohon trembesi (untung mereka ga pake joget-jogetan ala film India), Dewi duduk sendirian, tapi polahnya kayak orang kesambet, tangannya megang benda hitam kecil dan nampak jempolnya yang kurus kering kayak ikan asin peda mencet-mencet bidang kotak hitam itu, sesekali keningnya berkerut, sesekali cengar-cengir kayak kuda. Galih, Yuli, Arya, Sekar, Ayu mereka berdiri bergerombol di depan papan pengumuman, entah apa yang dicari. Soalnya terahkir kali nengok mading, isinya tentang pensi sabtu depan. Dan aku benci pensi. Bagiku ajang pensi itu seperti ajang menghukum para jomblo dan para penerima putusan cinta.

Sementara teman-teman yang lain sibuk haha-hihi ama gebetannya, para jomblo biasanya sibuk mencari akal untuk bisa deketin para single, minimal ngajak ngobrol. Atau para penerima putusan cinta, yang masih cinta tapi diputusin secara sepihak, kudu sudi dan rela hati melihat orang yang masih disayanginya gandeng gebetan baru. Apalagi kalau gebetan barunya lebih oke dari dirinya sendiri. –ampunnn, mbok-

***

Bel sekolah masih sepuluh menit lagi berbunyi, aku yang katanya bahagia pagi ini, karena pas melek mata mendapat sms manis, yang isinya begini “Selamat pagi, Nash, nanti sebelum upacara tunggu di halaman belakang kantin ya. Sebentar aja, mau ngomong sesuatu.”

Mataku kembali berbinar bling-bling membaca sms itu. Sebenarnya biasa aja sih isinya, ngajak ketemuan di halaman belakang kantin.

Padahal kalau di pikir-pikir banyak tempat yang lebih beradab selain di sini, yang ga deketan ama tempat sampah.

Aku sibuk membetulkan jambul mungil yang bertengger di atas kepalaku. Aroma minyak kelapanya Emak tidak terlalu keliatan disana. Taklama menunggu si pengirim sms datang, rambutnya dikuncir dua, dengan ikat rambut warna orange. Kulitnya yang hitam tertutup rapi dengan seragam abu putihnya.

Senyumku sumringah. “Inikah saatnya?” batinku berucap dengan tingkat percaya diri hampir seribu persen.

Marni. Nama lengkapnya Marniati Umbul. Perempuan yang berada dua tingkat di atasku. Dia kelas tiga dan aku kelas satu. Tapi namanya ngefans, soal perbedaan takkan jadi masalah, bukan? –kibas-kibas lengan baju-

Mengingat sebentar lagi bel sekolah akan berbunyi tanda dimulainya upacara bendera. Seni langsung memulai maksud dan tujuannya mengajakku bertemu. Dia ngoceh tanpa jeda, sepertinya suara bel sekolah adalah hal yang menyeramkan hingga dia berbicara sangat cepat sekali.

“Jadi begitu, Nash.” Katanya mengakhir pembicaran. Bebarengan suara pak Kirman yang teriak-teriak di toa.”Anak-anak harap  segera turun ke lapangan, upacara bendera akan segera dimulai.”

“Ayo, cepat. Udah mau mulai upacaranya.  Aku duluan ya.” Tanpa menunggu jawabanku, cewek yang lebih tua dari aku itu melesat pergi, dia berlari tanpa menoleh. Kayak kuda unicorn yang kelebihan sayap.

Dan aku, masih bingung kira-kira sepulang sekolah ini bakal selamat gak ya dari cengkraman Asrev. Cowok yang resmi jadi pacarnya Marni.

***

Aku melangkah menuju barisan kelasku. Yang letaknya paling ujung. Dua blok dari barisannya Marni. Biasanya aku selalu mencuri pandang ketika melewati barisan itu, berharap menemukan senyum termanis miliknya. Tapi sepertinya sekarang ini aku lebih memilih berlari saja saat melewati barisan itu. Berlari sekencang-kencangnya. Dan mengabaikan senyum manis yang kerap membuai mimpi-mimpi malamku yang merindu. –Hwalah, kumat lebaynya-

Keadaan memanas, seperti suasana perang dunia ke dua. Puisi cintaku untuk Marni ditemukan oleh Asrev.

Dan konon kemarahan Asrev mendekati murka. Jadi tujuan Marni menemuiku adalah untuk mengingatkan supaya aku lebih menjaga sikap. Agar tidak memperuncing masalah.

***

Semeter, dua meter, tiga meter dan berhenti di empat meter. Tepatnya aku kini berada di depan ruangan Unit Kesehatan Sekolah alias UKS. Kuputuskan untuk tidak ikut upacara, demi menghindari hal-hal yang memalukan, seperti terjadi pingsan di tempat yang tidak semestinya karena rupanya kecintaanku pada seni puisi berujung tak berbalas cintanya Marni.

Bu Naya, guru pembimbing BP yang terkenal super lembut dan ayu itu menyambutku. Tanpa banyak pertanyaan bu Naya menyodorkanku buku absensi UKS, aku mengisinya, menuliskan sebab musabab kenapa aku bisa berada disini. Terdampar menunggu pingsan karena harus menerima kenyataan gadis yang aku puja ternyata memilih cowok lain.

Ada yang mengatakan bahwa menangis adalah hak semua orang. Dan jujur, rasanya pernyataan itu bisa aku gunakan sekarang. Aku ingin menangis dalam pelukan bu Naya, berharap kelembutannya bisa menenangkan galauku. Menenangkan patahhatiku pada bakal calon pacarku.

Mungkin setiap ibu dan bapak guru ditakdirkan mempunyai insting pada anak didiknya. Ini terbukti dari ucapan bu Naya yang singkat namun tembus ke organ paling vital manusia, jantung.

“Jatuh cinta itu hakikatnya adalah sebuah kebijaksanaan. Jadi,bijaksanalah memperlakukannya.”

Kepalaku tiba-tiba pening, cepat-cepat aku meminta minyak angin pada bu Naya, kemudian mengoleskan tipis-tipis di keningku. Biasanya sich kalau kepalaku pening Emak menempelkan koyo di kedua sisi keningku, dan ajaib (dengan mata kedip-kedip) tak berapa lama rasa pening pergi, bablas. Tapi karena tidak ada koyo, jadi kupakai yang ada saja.

45 menit berlalu, upacara bendera selesai. Karena rasa pening yang tidak kunjung reda, aku memutuskan untuk ijin  pulang. Dengan dibantu bu Naya berbicara pada wali kelasku, pak Kirman, akhirnya aku pulang sekolah lebih awal.

Untuk kali pertamanya, aku melewatkan upacara bendera hari senin. Karena patahhati (lagi).

***

Jadi begini, kan tadi pagi ceritanya aku sedang bahagia. Tapi sekarang ceritanya aku tidak bahagia.

“Bu, saya pulang, ya.” Pamitku lemas pada guru BPku. Bu Naya mengangguk lembut penuh pesona dan berpesan agar aku berhati-hati.

Semeter dan akhirnya sekilo lebih limaratus meter, kini aku sudah berada di kamar mungilku. Cepat-cepat ku ambil telepon genggamku dan menghapus pesan manis itu. Bagiku sekarang seorang Marni tidak lebih dari seorang kakak kelas saja.

Mataku mengantuk, kuraih bantal lepek butut kesayanganku. Terbayang wajah bu Naya yang ayu itu, juga kata-katanya yang adem maknyes. Aku merasa akan tidur.

“Jatuh cinta itu hakikatnya adalah sebuah kebijaksanaan. Jadi,bijaksanalah memperlakukannya.”

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun